Kini, semua lenyap. Karena sebuah keputusan yang dibuat dalam tekanan, dalam gairah momen, tanpa perhitungan.
Lebaran tahun berikutnya, suasana berbeda. Tidak ada ketupat berlimpah. Tidak ada baju baru. Raka dan Sisi hanya dapat baju bekas dari paman.
Saat malam takbiran, Sisi duduk di pangkuan ayahnya. "Papa, kita nggak punya emas lagi ya?"
Pak Dedi mengelus rambut anaknya. "Enggak, Nak. Tapi kita masih punya satu hal yang lebih berharga."
"Apa, Pa?"
"Pelajaran."
Ia diam sejenak, lalu berkata, "Jangan pernah pakai emas untuk hal yang hanya bikin senang sebentar. Pakai untuk yang penting: biaya sekolah, modal usaha, atau simpan buat masa depan. Kalau bukan untuk menyelamatkan hidup, jangan digadaikan."
Sisi mengangguk. Tidak sepenuhnya mengerti, tapi merasakan berat di suara ayahnya.
Beberapa bulan kemudian, Pak Dedi mulai usaha kecil-kecilan: jualan gorengan di depan rumah. Setiap hari, ia sisihkan Rp5.000. Bukan untuk beli rokok atau judi. Tapi untuk ditabung emas di Pegadaian.
Bukan digadaikan.
Tapi ditabung.
Perlahan, gram demi gram, harapan kembali terkumpul.