Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[cerpensenja] Tembok Kilkenny

3 Oktober 2025   17:13 Diperbarui: 3 Oktober 2025   17:13 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GrokAI, dokpri)

Madre Superior menggeleng. "Kau hanya gadis kecil, Aoife. Kau tak punya kuasa melawan kejahatan semacam itu."

Tapi Aoife tidak menyerah.

Malam itu, ketika salju turun deras dan angin meraung seperti jiwa yang tersiksa, Aoife pergi ke menara doa, ruang kecil di atap biara yang menghadap ke desa. Di sana, ia berlutut di atas batu beku, memeluk salib kayu sederhana, dan mulai berdoa. Bukan doa pengusiran yang penuh ancaman, tapi doa kerendahan:

"Tuhan Yesus, Engkau yang lembut dan rendah hati...
lihatlah anak-anak-Mu yang terluka.
Jangan hukum mereka.
Lepaskan mereka dari belenggu ini...
dan biarkan kasih-Mu, yang lebih kuat dari segala kegelapan,
menyentuh hati mereka."

Sementara itu, di desa, para gadis kesurupan berjalan menuju biara, kaki mereka telanjang di atas salju, napas mereka membeku di udara, tapi mata mereka menyala seperti bara api. Mereka membawa obor. Mereka akan membakar biara, menghancurkan tempat suci, dan membebaskan roh kuno itu sepenuhnya.

Tapi saat mereka tiba di gerbang biara, sesuatu terjadi.

Angin berhenti. Salju berhenti jatuh. Dan dari menara doa, terdengar suara lembut, suara Aoife yang menyanyikan Mazmur 23 dalam bahasa Irlandia kuno:

"Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku..."

Satu per satu, gadis-gadis itu jatuh berlutut. Air mata mengalir di pipi mereka, bukan air mata ketakutan, tapi air mata pembebasan. Roh jahat itu meraung, mencoba mempertahankan cengkeramannya, tapi cahaya kecil dari jendela menara itu (cahaya lilin yang dipegang Aoife) tampak seperti matahari di tengah malam.

Dengan teriakan yang mengguncang pepohonan, roh itu terlempar keluar dari tubuh mereka, menghilang ke dalam hutan, dikalahkan bukan oleh kekuatan, tapi oleh kasih yang tak bersyarat.

(olahan GrokAI, dokpri)
(olahan GrokAI, dokpri)

Esok harinya, desa menemukan para gadis tertidur damai di depan gerbang biara, selimut salju menutupi tubuh mereka seperti jubah putih. Tidak ada luka. Tidak ada bekas kegelapan. Hanya damai.

Aoife tidak pernah menceritakan apa yang terjadi malam itu. Ia hanya kembali ke tugasnya: menyapu lantai, merawat kebun herbal, dan berdoa, diam-diam, setia, dan penuh cinta.

Tapi sejak malam itu, tak ada lagi roh jahat yang berani mendekati Biara St. Brigid. Dan penduduk desa percaya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun