Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

[maljum] Neraka Yang Berjalan Di Atas Tanah

2 Oktober 2025   20:57 Diperbarui: 2 Oktober 2025   20:57 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Neraka Yang Berjalan Di Atas Tanah

Malam itu, angin dari Jawa Tengah menerobos Jakarta seperti nafas orang sekarat. Di lantai 22 gedung megahnya, Aguspras, cucu dari Pak Wijok, mantan kepala desa pelaku pembantaian 1965, terbangun oleh suara gesekan kuku di ubin marmer. Bukan tikus. Lebih dalam. Seperti jari-jari yang patah menggaruk lantai. Ia membeku. Di sudut kamar, bayangan hitam membungkuk, pocong tanpa kain kafan, hanya tumpukan tulang belulang yang tersusun seperti manusa, mulutnya menganga lebar, mengeluarkan suara dentuman peluru.

"Darah kami tak pernah kering... kau minum kopi dengan uang hasil korupsi, sementara kami dikubur hidup-hidup di lubang berlumur tinja," desisnya dalam logat Jawa kuno yang asing di telinga Agus.

Ia berlari ke kamar mandi, membanting pintu. Di cermin, wajahnya berubah, kulitnya mengelupas seperti korban pembakaran, mata cekung berisi cacing merah. Tiba-tiba, tangan mayat basah menembus kaca, mencengkeram lehernya. "Lihatlah wajahmu... ini wajah kakekmu sebelum ia membunuh kami!"

Agus terjatuh, napas tersengal. Di lantai, air mata istrinya, Sari, mengalir deras, tapi bukan air mata biasa. Setiap tetesnya berubah menjadi darah segar yang membentuk tulisan: "Cucumu Akan Lahir Dengan Mulut Terjahit".

60 Tahun Lalu: Di Bawah Pohon Beringin

Di desa terpencil, tahun 1965, malam menyelimuti bumi seperti kain kafan. Pak Wijok (kakek Agus) berdiri di bawah pohon beringin tua, golok di tangan, darah mengucur dari ujungnya. Ratusan tubuh tergeletak di tanah, mulut mereka terjait rapat dengan kawat berduri agar jeritan tak terdengar. Seorang guru perempuan, perutnya buncit hamil tujuh bulan, merayap ke kakinya: "Saya rela mati demi NKRI... tapi jangan biarkan negeri ini dirampok koruptor!"

Pak Wijok tertawa. Ia menendang perutnya hingga suara janin berhenti.

"Kami takkan pernah tenang... sampai kalian rasakan apa yang kami rasakan," bisik guru itu sebelum lehernya dipenggal.

Malam itu, angin berhenti berhembus. Pohon beringin bergetar, cabang-cabangnya meraih langit seperti tangan-tangan yang memohon.

Hari Ini: Kutukan Berjalan

Agus tak tahu, setiap darah yang ia korupsi untuk membangun vila mewah di Puncak (tanah yang dulu adalah sawah tempat kakeknya membantai ratusan orang) membuat bayangan di bawah pohon beringin semakin nyata. Di Jakarta, ia melihat jejak kaki basah di lantai marmernya. Di desa, warga setempat bersumpah melihat puluhan pocong berjalan dari lubang bekas kuburan massal menuju kota, membawa tali tambang dan golok berkarat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun