Animal Farm di Era Digital: Cermin Kekuasaan yang Tak Pernah Usang, Refleksi untuk Gen Z Indonesia
Sebagai orang muda, Anda memulai gerakan sosial demi keadilan, menggalang dukungan lewat media sosial, dan berhasil menggoyahkan kekuasaan lama. Tapi tak lama kemudian, para pemimpin barumu mulai hidup mewah, mengubah aturan diam-diam, dan menuduh siapa pun yang kritis sebagai "pengkhianat".
Ini bukan skenario politik Indonesia hari ini, itu plot Animal Farm, novel setebal 144 halaman yang ditulis George Orwell pada 1945. Namun, ironisnya, kisah fabel tentang babi yang mengkhianati revolusi itu terasa lebih nyata di era digital daripada di zamannya sendiri. Di tangan Gen Z (generasi yang melek teknologi tapi rentan terhadap narasi manipulatif) Animal Farm bukan hanya karya sastra, melainkan manual kritis untuk bertahan hidup di tengah hutan propaganda modern.
Ketika Fabel Menjadi Fakta
Bayangkan seekor babi yang berjalan dengan dua kaki, mengenakan mantel tuan tanah, dan bermain kartu dengan manusia, makhluk yang dulu dianggap musuh utama. Itulah akhir tragis dari Animal Farm, novel alegoris George Orwell yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Bakdi Soemanto dan diterbitkan oleh Penerbit Bentang.
Ditulis sebagai kritik terhadap tirani Stalin pasca-Revolusi Rusia, Animal Farm ternyata jauh melampaui zamannya. Di tangan generasi muda Indonesia (khususnya Gen Z) novel ini bukan hanya karya sastra klasik, melainkan cermin hidup yang memantulkan realitas politik kontemporer: janji-janji manis yang berubah jadi manipulasi, idealisme yang dikorbankan demi kekuasaan, dan rakyat yang terus-menerus dimanfaatkan meski sudah "merdeka".
Dari Revolusi ke Represi
Di Peternakan Manor, binatang-binatang memberontak melawan Pak Jones, simbol penindasan feodal dan kolonial. Mereka membangun Peternakan Binatang dengan prinsip luhur: semua binatang setara. Tujuh Perintah pun ditetapkan sebagai konstitusi moral mereka.
Namun, perlahan-lahan, para babi (terutama Napoleon) mengambil alih kekuasaan. Mereka mengubah aturan, mengontrol narasi lewat Squealer (si tukang propaganda), dan mengorbankan Boxer (si pekerja setia) demi kepentingan elit. Di akhir cerita, para babi tak lagi bisa dibedakan dari manusia. Satu-satunya hukum yang tersisa: "Semua binatang setara, tetapi beberapa binatang lebih setara daripada yang lain."
Kalimat ini bukan sekadar ironi, ia adalah diagnosis politik abadi.
Kelebihan Buku Animal Farm
Pertama, Gaya Bercerita Sederhana tapi Tajam. Orwell menggunakan bentuk fabel (kisah binatang) yang mudah dipahami semua usia, namun sarat makna politik. Ini membuat kritik terhadap totaliterisme bisa diakses bahkan oleh pembaca muda.
Kedua, Alegori yang Universal dan Abadi. Meski terinspirasi dari Revolusi Rusia, pesan Animal Farm berlaku di mana saja: di Indonesia, Amerika Latin, Afrika, atau bahkan di dunia digital. Setiap masyarakat yang pernah mengalami euforia revolusi lalu kecewa oleh realitas kekuasaan akan merasakan resonansi kuat.