Senja yang Panas dan Suara yang Tersingkir
Sejak pagi udara di Yogyakarta bagian utara terasa panas. Padahal mentarinya ada malu-malu di balik awan yang bergelantungan di langit antara mendung dan tiada menjadi kabur. Tak jelas. Situasi ini membawa saya pada sosok-sosok muda yang ketika reformasi nampak garang dan berdiri di garda terdepan membela rakyat, kini seperti duduk kekenyangan melingkar di meja kekuasaan. Tidak ada yang salah.Â
Orang pasti berubah, apalagi menyangkut sesuap rezeki. Daripada suar kering tak dapat apa-apa, lebih baik mari melingkar meminum dari cawan kekuasaan yang sama, menikmati hasil perjuangan yang pernah berjaya. Kegundahan itu lepas begitu saja menjadi catatan pinggir senja ini, sebagai sebuah asal omong dalam nada humor yang garing.
Di langit kelabu, cahaya terancam padam,
Gema jiwa bangsa meronta, menembus keheningan,
Sekilas harapan berkilau, namun deru hati membara,
Kisah-kisah luka dan perjuangan tak pernah padam dalam hati.
Langit penuh gesekan, janji-janji terpinggirkan,
Kesedihan mendalam, harapan terikat pada realita yang keras,
Serpihan semangat tetap bersinar, meski wajah tersenyum lelah,
Darah perjuangan berdenyut, menunggu saat bangkit kembali.
Di tengah hiruk-pikuk, suara-suara tersembunyi,
Adalah panggilan jiwa yang tak bisa dipadamkan oleh jarak dan waktu,
Senja ini terasa panas, meski awan menutupi langit,
Bangsa ini, oh, sedang membara dalam diam yang penuh arti.
Â
Namun, di balik keindahan dan keperihan puisi tersebut, tersimpan kenyataan pahit yang harus kita hadapi bersama. Dalam setiap langkah perjuangan, suara-suara yang pernah membahana sering kali terpinggirkan oleh kekuasaan dan pragmatisme. Ketika para pemimpin dan pengambil kebijakan memilih untuk bertahan di zona nyaman mereka, suara hati dan idealisme yang dulu membakar semangat rakyat perlahan terlupakan. Mereka lebih mengutamakan keuntungan sesaat daripada keadilan dan kebenaran yang hakiki.
Kehilangan keberanian untuk bersuara dan mempertahankan prinsip menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan bangsa. Ketika kekuasaan menjadi alat untuk menyingkirkan suara kritis, rakyat pun semakin terpojok dalam keheningan yang penuh luka. Padahal, di balik semua itu, kekuatan dan semangat rakyat tetap ada, menunggu saat yang tepat untuk bangkit kembali dan menyuarakan keadilan yang sejati.
Perjalanan bangsa ini menunjukkan bahwa kekuasaan sering kali menenggelamkan kebenaran dan mengabaikan suara idealisme. Tetapi, meskipun dalam diam, energi untuk perubahan tetap ada, menunggu waktu yang tepat untuk kembali menyala. Maka dari itu, kita harus selalu mengingat bahwa perjuangan belum usai, dan suara-suara yang pernah membahana harus kembali bersinar agar bangsa ini tidak terjebak dalam keheningan yang mematikan. Harapan selalu ada di balik gelap dan keheningan, menunggu saat untuk bangkit dan memperjuangkan keadilan sejati.
Lihatlah, orang-orang mulai gelisah membaca buku-buku perjuangan lalu disita (semoga untuk dibaca, bukan untuk dibakar).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI