Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

KEKUASAAN KATA [7] Mind Mapping & Simbol, Peta Rahasia di Balik Setiap Tulisan yang Utuh

20 September 2025   09:00 Diperbarui: 21 September 2025   20:10 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEKUASAAN KATA [7]: Mind Mapping & Simbol, Peta Rahasia di Balik Setiap Tulisan yang Utuh

Saya sering kehilangan ide. Bukan karena tidak punya. Justru terlalu banyak. Muncul tiba-tiba: saat sedang mandi, saat menunggu angkot, saat antre di lampu merah, saat mengajar, saat mengedit, bahkan saat hampir tertidur. Ide-ide itu datang seperti kilat menyambar, menyilaukan, lalu... poof! hilang sebelum sempat saya tangkap.

Sampai suatu hari, saya sadar: ide bukan musuh yang kabur. Ia adalah tamu yang butuh tempat duduk. Dan saya sebagai tuan rumah harus menyediakan kursi, meja, dan secangkir teh agar ia mau tinggal lebih lama.

Di situlah saya mulai menggunakan mind mapping dan simbol-simbol pribadi dalam catatan harian saya. Bukan untuk pamer. Bukan untuk jadi rapi ala Pinterest. Tapi untuk satu tujuan sederhana: agar ide dasar tulisan saya yang paling mentah, paling liar, paling jujur tidak hilang ditelan waktu, lalu bisa dirangkai dengan utuh, tanpa kehilangan jiwa aslinya.

Mind Mapping: Peta Berpikir yang Hanya Saya yang Paham

Saya tidak pernah membuat mind map yang "sempurna". Tidak ada garis lurus, tidak ada warna-warna pastel yang matching, tidak ada font-font cantik. Yang ada di kertas saya: coretan, panah yang bengkok, lingkaran yang tumpang tindih, dan simbol-simbol aneh yang hanya saya yang tahu artinya.

Mind map saya bukan peta untuk orang lain. Ia adalah peta jiwa. Peta yang hanya saya yang bisa baca, karena ia lahir dari cara berpikir saya, dari emosi saya, dari ritme napas saya saat menulis.

Dan justru karena ia personal, ia jadi sangat powerful.

Saat saya ingin menulis esai panjang tentang "kehilangan", saya buka mind map lama. Di sana, ada coretan kecil bertanda : "Ibu menangis diam-diam di dapur. Tak tanya apa-apa. Cuma bilang, 'Nanti Ibu masak sop favoritmu.'"

Dari satu coretan kecil itu saya bisa kembangkan jadi 2000 kata. Karena di balik kalimat itu, ada luka. Ada cinta. Ada diam yang lebih keras dari teriakan. Dan semuanya sudah saya simpan dalam peta pribadi saya.

Simbol Pribadi: Bahasa Rahasia antara Saya dan Ide Saya

Saya percaya, setiap penulis punya bahasa rahasia. Bahasa yang tak perlu diajarkan, tak perlu dijelaskan  karena ia lahir dari kebiasaan, dari kebutuhan, dari kejujuran.

Simbol-simbol saya mungkin terlihat aneh bagi orang lain. Tapi bagi saya, mereka adalah kunci. Pernah seorang teman (kala masih kuliah) meminjam catatan kuliah saya mengenai Injil Sinoptik. Setelah lebih dari setengah jam dia kembalikan, "Fren, aku kembalikan. Saya tidak mengerti apa maksudmu dengan banyak sekali panah ke hampir segala sudut kertas."

Saya mengajaknya duduk dan saya menjelaskan apa yang tampak dari catatan saya itu. "Oh, I see, sekarang saya mengerti. Penjelasan Romo tadi muncul kembali," katanya seraya berterima kasih setelah kami duduk diskusi hampir 20 menit. Meski menguasai apa yang menjadi catatan saya, namun saat ujian saya lebih memilih membuat paper/makalah sepanjang 20 halaman. Senang jika dapat dosen yang tidak wajibkan mahasiswa mengikuti ujian gaya lama. Hehe.

Ada beberapa simbol/gambar yang saya pakai misalnya, saya gambar "kunci kecil" di samping ide yang rasanya "penting tapi belum tahu mau dipakai di mana":  nanti, saat menulis, saya akan "buka kunci" itu dan masukkan ke bagian yang tepat.

Atau sebuah ide saya tulis dalam kotak (bujur sangkar) lalu di empat sudutnya saya beri tanda panah ke empat arah yang berbeda. Artinya, ide ini bisa saya kembangkan dengan empat pendekatan, atau empat tulisan atau tetap jadi satu tulisan dengan beberapa pendekatan sekaligus. Panah-panah itu mengarah ke seseorang, atau sesuatu atau sebuah tempat atau bahkan sebuah buku.

Kalau ide itu aktual atau lagi trending saya lingkari bujur sangkar tadi atau tambahkan simbol lain bisa berupa gambar hati: artinya ini amat berkesan, bisa dimulai dari pengalamanku sendiri.

Simbol-simbol ini bukan sekadar hiasan. Mereka adalah kode emosional. Mereka membantu saya mengingat: "Ini ide yang lahir saat kamu marah. Ini yang lahir saat kamu rindu. Ini yang lahir saat kamu hampir menyerah." Dan emosi  adalah bahan bakar terbaik untuk tulisan yang hidup.

Pendapat Ahli yang Mendukung: Otak, Kreativitas, dan Peta Visual

Saya tidak sendirian dalam keyakinan ini. Banyak ahli kreativitas dan psikologi kognitif yang mendukung penggunaan mind mapping dan simbol visual sebagai alat bantu menulis dan berpikir.

Tony Buzan (pencipta modern mind mapping) mengatakan:

"Mind mapping adalah ekspresi alami dari cara kerja otak manusia, bukan linear, tapi radiatif. Ia meniru cara otak menyimpan dan menghubungkan informasi. Dengan mind map, kita tidak hanya mencatat ide,  kita membangun jaringan makna." (Buzan, "The Mind Map Book", 1993)

Dr. Linda Kreger Silverman (pakar psikologi visual) menegaskan:

"Orang dengan gaya belajar visual dan spasial cenderung berpikir dalam gambar, simbol, dan peta. Mereka lebih mudah mengingat dan mengembangkan ide ketika menggunakan representasi visual daripada teks linear. Ini bukan soal estetika, ini soal neurologi." (Silverman, "Upside-Down Brilliance: The Visual-Spatial Learner", 2002)

Dr. Shelly Carson (psikolog kreativitas dari Harvard) dalam bukunya "Your Creative Brain" (2010) menjelaskan:

"Kreativitas sering lahir dari 'kebocoran' antara sistem berpikir. Mind mapping memungkinkan ide-ide dari berbagai domain bertemu dan berkolaborasi,  inilah yang disebut 'associative thinking', sumber utama inovasi dan orisinalitas dalam menulis."

Dan yang paling menyentuh hati saya, Julia Cameron, penulis "The Artist's Way", mengatakan:

"Jangan biarkan ide-ide indahmu menguap begitu saja. Tangkap mereka. Beri mereka rumah, sekecil apa pun. Coretan di serbet, simbol di buku catatan, rekaman suara di ponsel, semua itu adalah altar kecil bagi kreativitasmu. Hormati mereka. Mereka adalah benih dari mahakaryamu."

Mind Mapping Bukan Alat, Tapi Ritual

Bagi saya, membuat mind map bukan sekadar teknik. Ia adalah ritual. Ritual untuk menghormati ide-ide liar yang datang tanpa diundang. Ritual untuk memberi ruang pada pikiran yang tak mau diam. Ritual untuk mengatakan pada diri sendiri: "Aku mendengarmu. Aku mencatatmu. Aku tak akan biarkan kau hilang."

Dan dari ritual inilah, tulisan utuh lahir, bukan karena dipaksakan, tapi karena dirawat. Bukan karena dicari, tapi karena dikumpulkan perlahan, setia, seperti mengumpulkan remah-remah roti di hutan, agar bisa pulang ke rumah.

Penutup: Ide Dasar Kita Adalah Warisan Jiwa Kita

Jadi, jika kamu sering kehilangan ide, jangan salahkan dirimu. Salahkan sistemmu. Mulailah buat peta. Buat simbol. Buat bahasa rahasia antara kamu dan ide-ide gilamu.

Karena ide dasar tulisan kita, bukan sekadar bahan mentah. Ia adalah jejak jiwa. Jejak perasaan, pengalaman, luka, rindu, marah, syukur (yang kalau tidak ditangkap, akan menguap) dan dunia kehilangan satu suara yang mungkin justru paling dibutuhkan.

Mind mapping dan simbol pribadi adalah cara saya menjaga suara itu tetap hidup sampai ia siap lahir menjadi tulisan utuh yang bisa menyentuh hati orang lain.

Dan kamu?
Peta apa yang sedang kamu gambar hari ini?
Simbol apa yang sedang kamu ciptakan untuk ide yang tak mau pergi, tapi juga tak mau bicara?

Tulislah.
Gambarlah.
Simpanlah.
Karena dari coretan kecilmu bisa lahir kekuatan besar.

"Ide adalah burung liar. Jangan kejar.
Sediakan saja pohon, lalu ia akan hinggap,
berkicau, dan tinggal
sampai waktunya terbang jadi tulisan."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun