Simbol-simbol saya mungkin terlihat aneh bagi orang lain. Tapi bagi saya, mereka adalah kunci. Pernah seorang teman (kala masih kuliah) meminjam catatan kuliah saya mengenai Injil Sinoptik. Setelah lebih dari setengah jam dia kembalikan, "Fren, aku kembalikan. Saya tidak mengerti apa maksudmu dengan banyak sekali panah ke hampir segala sudut kertas."
Saya mengajaknya duduk dan saya menjelaskan apa yang tampak dari catatan saya itu. "Oh, I see, sekarang saya mengerti. Penjelasan Romo tadi muncul kembali," katanya seraya berterima kasih setelah kami duduk diskusi hampir 20 menit. Meski menguasai apa yang menjadi catatan saya, namun saat ujian saya lebih memilih membuat paper/makalah sepanjang 20 halaman. Senang jika dapat dosen yang tidak wajibkan mahasiswa mengikuti ujian gaya lama. Hehe.
Ada beberapa simbol/gambar yang saya pakai misalnya, saya gambar "kunci kecil" di samping ide yang rasanya "penting tapi belum tahu mau dipakai di mana": Â nanti, saat menulis, saya akan "buka kunci" itu dan masukkan ke bagian yang tepat.
Atau sebuah ide saya tulis dalam kotak (bujur sangkar) lalu di empat sudutnya saya beri tanda panah ke empat arah yang berbeda. Artinya, ide ini bisa saya kembangkan dengan empat pendekatan, atau empat tulisan atau tetap jadi satu tulisan dengan beberapa pendekatan sekaligus. Panah-panah itu mengarah ke seseorang, atau sesuatu atau sebuah tempat atau bahkan sebuah buku.
Kalau ide itu aktual atau lagi trending saya lingkari bujur sangkar tadi atau tambahkan simbol lain bisa berupa gambar hati: artinya ini amat berkesan, bisa dimulai dari pengalamanku sendiri.
Simbol-simbol ini bukan sekadar hiasan. Mereka adalah kode emosional. Mereka membantu saya mengingat: "Ini ide yang lahir saat kamu marah. Ini yang lahir saat kamu rindu. Ini yang lahir saat kamu hampir menyerah." Dan emosi  adalah bahan bakar terbaik untuk tulisan yang hidup.
Pendapat Ahli yang Mendukung: Otak, Kreativitas, dan Peta Visual
Saya tidak sendirian dalam keyakinan ini. Banyak ahli kreativitas dan psikologi kognitif yang mendukung penggunaan mind mapping dan simbol visual sebagai alat bantu menulis dan berpikir.
Tony Buzan (pencipta modern mind mapping) mengatakan:
"Mind mapping adalah ekspresi alami dari cara kerja otak manusia, bukan linear, tapi radiatif. Ia meniru cara otak menyimpan dan menghubungkan informasi. Dengan mind map, kita tidak hanya mencatat ide, Â kita membangun jaringan makna."Â (Buzan, "The Mind Map Book", 1993)
Dr. Linda Kreger Silverman (pakar psikologi visual) menegaskan:
"Orang dengan gaya belajar visual dan spasial cenderung berpikir dalam gambar, simbol, dan peta. Mereka lebih mudah mengingat dan mengembangkan ide ketika menggunakan representasi visual daripada teks linear. Ini bukan soal estetika, ini soal neurologi."Â (Silverman, "Upside-Down Brilliance: The Visual-Spatial Learner", 2002)
Dr. Shelly Carson (psikolog kreativitas dari Harvard) dalam bukunya "Your Creative Brain" (2010) menjelaskan:
"Kreativitas sering lahir dari 'kebocoran' antara sistem berpikir. Mind mapping memungkinkan ide-ide dari berbagai domain bertemu dan berkolaborasi, Â inilah yang disebut 'associative thinking', sumber utama inovasi dan orisinalitas dalam menulis."
Dan yang paling menyentuh hati saya, Julia Cameron, penulis "The Artist's Way", mengatakan:
"Jangan biarkan ide-ide indahmu menguap begitu saja. Tangkap mereka. Beri mereka rumah, sekecil apa pun. Coretan di serbet, simbol di buku catatan, rekaman suara di ponsel, semua itu adalah altar kecil bagi kreativitasmu. Hormati mereka. Mereka adalah benih dari mahakaryamu."