Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ketika Dunia Ber-Scroll, Keluarga Harus Berhenti Sejenak

19 September 2025   11:45 Diperbarui: 19 September 2025   11:45 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Ketika Dunia Ber-Scroll, Keluarga Harus Berhenti Sejenak

 

[Ketika masih dalam proses pembinaan sebagai anggota Kongregasi Keluarga Kudus, kami sering melakukan novena dan renungan tentang Bunda Maria dari La Salette. Ada banyak keutamaan iman yang kami renungkan. Dan itu semakin dihidupi ketika dalam perjalanan waktu saya memilih hidup berkeluarga daripada menjadi imam MSF. Berikut ini merupakan refleksi atas Peran Bunda Maria La Salette dalam hidup keluarga yang mungkin bisa menginspirasi kita semua. Ini bukan resep yang harus diikuti. Ini hanya sebuah sharing pengalaman dari penghayatan yang tidak mendalam tentang spiritualitas Maria La Salette dalam hidup saya].

***

Malam berlalu seperti biasanya. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, meja makan dipenuhi piring berisi nasi hangat dan lauk sederhana. Namun, yang mendominasi bukan suara sendok atau tawa anak-anak, melainkan beep notifikasi dari ponsel yang berderet di tepi meja. Sang ayah sibuk membalas email kantor, ibu terpaku pada reels tentang resep masakan, sementara kedua anaknya saling beradu streak di WhatsApp. Di sudut ruang tamu, salib kayu tergantung sunyi, seolah mengingatkan pada sesuatu yang mulai menguap: kehadiran.

Ini bukan lagi soal teknologi. Ini soal jiwa.

Sejak 1846, ketika Bunda Maria menangis di Gunung La Salette, Prancis, pesannya menggema: "Jika kalian tidak bertobat, anak-anak kecil akan jatuh ke lutut..." Tangisan-Nya bukan hanya untuk masa lalu, tetapi untuk kita yang kini terjebak dalam badai digital fatigue. Bagi Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (yang lahir dari semangat La Salette) tantangan parenting era ini bukan sekadar mengatur screen time, melainkan mengembalikan keluarga sebagai "tanah suci" yang tak terdigitalisasi. Di sinilah kita, para orang tua modern, dipanggil untuk menjadi reconciliators di tengah krisis kehadiran.

Krisis yang Tak Berbunyi: Saat Layar Menggantikan Sakramen

[Sebuah meditasi singkat: Yesus kecil yang duduk di pangkuan Maria, mendengarkan kisah Yusuf tentang kerajinan kayu. Tak ada scrolling, tak ada notification. Hanya keheningan yang produktif, ruang di mana iman tumbuh perlahan, seperti roti yang mengembang.]

Kini, keheningan itu raib. Studi terbaru menunjukkan 68% keluarga Indonesia tidak pernah makan malam tanpa gawai. Anak-anak lebih hafal shortcut TikTok daripada doa Bapa Kami. Bunda Maria di La Salette menangis bukan karena murka, tetapi karena melihat sakramen-sakramen kecil keluarga, seperti tatap mata saat berbicara atau doa sebelum tidur, tergantikan oleh auto-correct dan algorithm.

Dalam derap teknologi yang demikian, Kongregasi Keluarga Kudus justru mengajak kita menghidupkan kembali "keheningan Maria": waktu untuk keluarga berani diam, merenung, dan mendengar bisikan yang lebih dalam dari vibration ponsel. Seperti Maria yang "menyimpan segala perkara di hati" (Luk 2:19), kita perlu menciptakan ruang di rumah untuk bertanya: "Apa yang benar-benar penting hari ini?"

"Aku Doakan yang Baik untukmu": Seni Mengampuni 

Di media sosial, konflik sering berakhir dengan unfollow atau komentar pedas. Anak-anak belajar bahwa dendam lebih mudah daripada dialog. Padahal, Keluarga Kudus adalah teladan pengampunan: Yusuf yang menerima Maria dalam kebingungan (Mat 1:20), Yesus yang memaafkan penyalib-Nya.

Bagaimana menerjemahkannya di era cyberbullying? Kongregasi Keluarga Kudus menawarkan ritual sederhana: "Ritus Pengampunan Digital". Setiap Minggu, keluarga berdoa bersama: "Tuhan, ampunilah kami yang terlalu cepat menjudge di story, yang lupa bahwa di balik layar ada hati yang rapuh."
Lalu, ajak anak mempraktikkan kalimat ajaib: "Aku doakan yang baik untukmu" sebagai respons atas komentar negatif. Bukan lemah, ini keberanian. Seperti Maria yang tetap setia di kaki salib, kita diajarkan bahwa kasih sejati tak pernah offline.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Sabat Digital: Saatnya Menjadi "Orang Tua Kolot" yang Berani

Bunda Maria di La Salette menegur masyarakat 1846 yang melupakan Sabat. Hari ini, tantangannya lebih dalam: kita tak punya hari istirahat dari teknologi. Anak-anak merasa "terasing" jika tidak update status, orang tua khawatir ketinggalan deadline jika tidak reply email tengah malam.

Kongregasi Keluarga Kudus tak menyerukan penghapusan teknologi. Mereka justru mengajak kita membangun "Sabat Digital" yang aplikatif: Minggu Pagi hingga Senja: Ponsel dikunci di laci, diganti dengan kegiatan nyata: memasak bersama, berjalan kaki ke gereja, atau sekadar mendengar rintik hujan. Atau "Notifikasi Rohani": Setel alarm ponsel dengan kalimat "Apa yang kubagikan hari ini membangun kasih?" sebagai pengingat sebelum posting.

Orang tua sering terjebak di dua ekstrem: terlalu otoriter (memblokir semua aplikasi) atau terlalu abai (menyerahkan anak pada algoritma). Kongregasi Keluarga Kudus menawarkan jalan ketiga: menjadi "ko-navigator".

Ini bukan tentang kontrol, tetapi membangun kepercayaan. Seperti Yusuf yang diam-diam melindungi Keluarga Kudus dari Herodes (Mat 2:13), orang tua modern dipanggil untuk hadir sebagai penuntun yang bijak, bukan penjaga yang menakutkan.

Penutup: Keluarga Kudus di Abad ke-21

Pesan La Salette sering disalahpahami sebagai ancaman. Padahal, itu adalah undangan: "Jika kalian tidak bertobat..." berarti masih ada harapan. Di tengah gemerisik data dan algoritma, keluarga tetap bisa menjadi tempat di mana anak-anak belajar: Bahwa like tidak menggantikan pelukan. Bahwa kebenaran lebih bernilai daripada viral. Bahwa kekudusan dimulai dari meja makan yang bebas gawai.

Seperti buah gandum dan anggur yang ditunjukkan Bunda Maria kepada Mlanie dan Maximin di La Salette, kita dipanggil untuk menjadi "buah yang hancur demi keutuhan sesama". Tidak perlu sempurna. Cukup mulai dari hal kecil: Matikan notifikasi media sosial selama doa malam. Ajak anak membagikan satu kalimat kasih di story-nya besok. Katakan: "Aku berada di sini, bukan hanya connected."

Di akhir hari, ketika layar-layar mati dan rumah kembali sunyi, mungkin kita akan mendengar bisikan yang sama seperti di Gunung La Salette:

"Aku adalah Bunda dari Tuhanmu yang Mahakasih."
Kasih-Nya tak pernah error, tak pernah buffering.
Dan di sinilah, di antara piring kotor dan tawa anak,
kita menemukan kembali arti menjadi keluarga kudus.

La Salette bukan hanya tempat di Prancis,
tetapi janji: Allah selalu hadir di meja makan kita.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun