Bagaimana menerjemahkannya di era cyberbullying? Kongregasi Keluarga Kudus menawarkan ritual sederhana: "Ritus Pengampunan Digital". Setiap Minggu, keluarga berdoa bersama: "Tuhan, ampunilah kami yang terlalu cepat menjudge di story, yang lupa bahwa di balik layar ada hati yang rapuh."
Lalu, ajak anak mempraktikkan kalimat ajaib: "Aku doakan yang baik untukmu" sebagai respons atas komentar negatif. Bukan lemah, ini keberanian. Seperti Maria yang tetap setia di kaki salib, kita diajarkan bahwa kasih sejati tak pernah offline.
Sabat Digital: Saatnya Menjadi "Orang Tua Kolot" yang Berani
Bunda Maria di La Salette menegur masyarakat 1846 yang melupakan Sabat. Hari ini, tantangannya lebih dalam: kita tak punya hari istirahat dari teknologi. Anak-anak merasa "terasing" jika tidak update status, orang tua khawatir ketinggalan deadline jika tidak reply email tengah malam.
Kongregasi Keluarga Kudus tak menyerukan penghapusan teknologi. Mereka justru mengajak kita membangun "Sabat Digital" yang aplikatif: Minggu Pagi hingga Senja: Ponsel dikunci di laci, diganti dengan kegiatan nyata: memasak bersama, berjalan kaki ke gereja, atau sekadar mendengar rintik hujan. Atau "Notifikasi Rohani": Setel alarm ponsel dengan kalimat "Apa yang kubagikan hari ini membangun kasih?" sebagai pengingat sebelum posting.
Orang tua sering terjebak di dua ekstrem: terlalu otoriter (memblokir semua aplikasi) atau terlalu abai (menyerahkan anak pada algoritma). Kongregasi Keluarga Kudus menawarkan jalan ketiga: menjadi "ko-navigator".
Ini bukan tentang kontrol, tetapi membangun kepercayaan. Seperti Yusuf yang diam-diam melindungi Keluarga Kudus dari Herodes (Mat 2:13), orang tua modern dipanggil untuk hadir sebagai penuntun yang bijak, bukan penjaga yang menakutkan.
Penutup: Keluarga Kudus di Abad ke-21
Pesan La Salette sering disalahpahami sebagai ancaman. Padahal, itu adalah undangan: "Jika kalian tidak bertobat..." berarti masih ada harapan. Di tengah gemerisik data dan algoritma, keluarga tetap bisa menjadi tempat di mana anak-anak belajar: Bahwa like tidak menggantikan pelukan. Bahwa kebenaran lebih bernilai daripada viral. Bahwa kekudusan dimulai dari meja makan yang bebas gawai.
Seperti buah gandum dan anggur yang ditunjukkan Bunda Maria kepada Mlanie dan Maximin di La Salette, kita dipanggil untuk menjadi "buah yang hancur demi keutuhan sesama". Tidak perlu sempurna. Cukup mulai dari hal kecil: Matikan notifikasi media sosial selama doa malam. Ajak anak membagikan satu kalimat kasih di story-nya besok. Katakan: "Aku berada di sini, bukan hanya connected."
Di akhir hari, ketika layar-layar mati dan rumah kembali sunyi, mungkin kita akan mendengar bisikan yang sama seperti di Gunung La Salette:
"Aku adalah Bunda dari Tuhanmu yang Mahakasih."
Kasih-Nya tak pernah error, tak pernah buffering.
Dan di sinilah, di antara piring kotor dan tawa anak,
kita menemukan kembali arti menjadi keluarga kudus.
La Salette bukan hanya tempat di Prancis,
tetapi janji: Allah selalu hadir di meja makan kita.