Yang sering dilupakan: kegiatan ini juga bisa jadi jembatan toleransi.
Bayangkan satu kelas, ada siswa Muslim dan Kristen. Mereka duduk berdampingan. Masing-masing membaca bacaan sucinya. Tidak ada paksaan. Tidak ada perdebatan. Hanya keheningan yang penuh makna. Lalu, setelah bacaan, guru memimpin refleksi singkat: "Apa nilai kebaikan yang kamu temukan hari ini?" dan semua boleh menjawab, tanpa memandang agama.
Inilah pendidikan inklusif yang sesungguhnya. Bukan dengan menghapus perbedaan, tapi dengan menghargainya. Bukan dengan memaksa seragam, tapi dengan merayakan keberagaman.
"Kita tidak harus sama untuk saling menghargai. Kita hanya perlu sama-sama belajar menghargai."
Dan dari sinilah lahir iklim sekolah yang damai tempat di mana setiap anak merasa aman, diterima, dan dihargai apa adanya.
Kebiasaan Kecil, Dampak Seumur Hidup
Hal paling ajaib dari kebiasaan ini? Ia tidak berhenti di gerbang sekolah.
Siswa yang terbiasa membaca bacaan suci di pagi hari cenderung membawanya ke rumah. Lalu ke kampus. Lalu ke tempat kerja. Lalu ke keluarga mereka kelak. Ini bukan sekadar kebiasaan , ini warisan.
Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya."
Alkitab menulis: "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." (Amsal 22:6)
Kita sedang menanam benih. Hari ini mungkin belum kelihatan. Tapi suatu hari nanti, benih itu akan tumbuh menjadi pohon rindang tempat banyak orang berteduh.
Tips Praktis untuk Guru dan Sekolah
Agar kegiatan ini tidak jadi rutinitas mati atau tanpa makna melainkan menjadi pengalaman hidup yang bermakna, ada beberapa tips yang bisa dilakukan:
- Jangan terburu-buru. Beri waktu 10--15 menit. Biarkan siswa benar-benar tenggelam dalam bacaan.
- Buat suasana nyaman. Jika memungkinkan dan dalam kelas: redupkan lampu, putar musik instrumental lembut, atau ajak siswa duduk melingkar.
- Ajak refleksi singkat. "Apa pesan yang kamu dapat hari ini?": cukup satu pertanyaan, tapi bisa membangkitkan kesadaran.
- Hindari paksaan. Biarkan siswa memilih ayat atau cerita yang mereka sukai. Keterlibatan emosional lebih penting daripada target hafalan.
- Libatkan orang tua. Kirim pesan singkat: "Hari ini kami membaca Surat Al-Fatihah / Mazmur 23. Boleh dilanjutkan di rumah?"
- Evaluasi dengan hati. Jangan hanya lihat "apakah semua hadir?", tapi "apakah mereka lebih tenang? Lebih fokus? Lebih ramah?"
Penutup: Pintu Gerbang Menuju Generasi Emas
Membaca bacaan suci di pagi hari bukan ritual kuno yang ketinggalan zaman. Ia adalah strategi modern untuk menghadapi tantangan zaman di mana anak-anak hidup dalam tekanan tinggi, distraksi digital, dan krisis identitas.