Dialog di Warung Kopi Plato: Saat Filsuf Klasik Bertemu Rocky Gerung
Sebuah Humor Filosofis tentang Demo, Korupsi, dan Bahasa Pejabat yang Tak Terkendali
 [Warung kopi pinggir gunung, di antara awan dan pikiran. Ada meja bundar dari kayu zaman Yunani, tapi colokan listrik buat charger HP. Di meja: kopi tubruk, rokok kretek, dan satu buku berjudul "The Republic" (versi terjemahan bahasa gaul). Tiba-tiba, Plato masuk, duduk dengan gaya bijak. Socrates menyusul, tanpa alas kaki, sambil minum air putih karena nggak suka kopi.]
Plato:
"Di republikku, pemimpin adalah filsuf. Tapi di republik kalian, pemimpin adalah influencer yang bisa ngomong tanpa mikir. Aku dengar di Indonesia, anggota dewan bilang kritikus itu 'orang tolol se-dunia'. Apa itu demokrasi atau demos yang kratos-nya kena kratos?"
Socrates (mengangkat gelas):
"Aku ingin bertanya: Apakah pejabat yang korup itu karena dia jahat... atau karena sistemnya membiarkan dia merasa baik meski jahat? Dan jika dia menghina rakyat, apakah itu bukti keberanian... atau ketakutan akan kebenaran?"
Aristoteles (masuk sambil bawa laptop):
"Menurut logika, manusia itu zoon politikon. Tapi di Indonesia, tampaknya jadi zoon provokatif-consumption-emotion-driven. Rakyat demo bukan hanya karena korupsi, tapi karena pejabatnya ngomong kayak buzzer. Itu bukan ethos, bukan logos, tapi pathos yang dimanipulasi."
Thomas Aquinas (datang dengan jubah, tapi pakai Apple Watch):
"Dalam teologi, veritas itu kebenaran ilahi. Tapi di dunia, kebenaran sering dikubur oleh kepentingan duniawi. Pejabat yang korup bukan hanya melanggar hukum negara, tapi juga hukum moral. Dan yang lebih parah: mereka menghina rakyat, padahal rakyat adalah ciptaan Tuhan yang mulia. Ini bukan dosa kecil, ini dosa struktural!"
[Tiba-tiba, Rocky Gerung muncul dari balik kabut, dengan kopi di tangan, jaket kulit, dan aura misterius. Ia duduk tanpa permisi.]
Rocky Gerung:
"Kalau saya bilang, pejabat yang korup itu bukan masalah moral, tapi masalah tata bahasa. Mereka tidak bisa meng-ekspresi-kan diri sebagai pelayan rakyat, karena grammar kekuasaan mereka sudah rusak. Mereka bicara dengan logika inversi: yang benar disebut salah, yang kritis disebut musuh, yang korup disebut pahlawan pembangunan."
Plato (mengangguk):
"Betul! Mereka hidup di dunia bayangan seperti tahanan di gua yang mengira bayangan itu kenyataan. Mereka lihat rakyat marah, tapi mereka pikir itu hoaks."
Socrates:
"Jadi, aku bertanya: Jika pejabat menghina rakyat, apakah rakyat boleh menghina balik? Atau justru harus lebih bijak, karena mereka mewakili kebenaran?"