Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

[publicspeaking] Ketika Kata-kata Pejabat Menjadi Luka, Kajian Filosofis dan Psikologis Public Speaking yang Melukai Masyarakat

4 September 2025   08:21 Diperbarui: 4 September 2025   08:21 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan chat GPT, dokpri)

Ketika Kata-Kata Pejabat Menjadi Luka: Kajian Filosofis dan Psikologis atas Public Speaking yang Melukai Masyarakat

Di tengah hiruk-pikuk politik dan pemerintahan, ada satu aspek yang kerap luput dari sorotan, namun berdampak sangat dalam: cara pejabat berbicara. Bukan sekadar isi kebijakan, tetapi bagaimana mereka menyampaikannya. Dalam beberapa waktu terakhir, publik Indonesia kembali dikejutkan oleh sejumlah pernyataan pejabat yang, meski mungkin berniat baik, justru melukai perasaan rakyat.

Dari ucapan Menteri Agama Nasaruddin Umar yang menyebut guru harus "suci di langit dan suci di bumi", hingga komentar Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yang menyarankan rakyat "kabur saja kalau tidak betah", kita menyaksikan bukan hanya kegagalan komunikasi, tetapi luka simbolik yang diperparah oleh ketiadaan empati dan kesalahan diksi.

Pertanyaannya bukan hanya: Apa yang salah?, tetapi lebih dalam: Mengapa hal ini terus terjadi? Dan dari sudut pandang filosofis maupun psikologis, fenomena ini bukan sekadar kecerobohan, melainkan refleksi dari krisis relasi antara penguasa dan rakyat, antara kata dan kenyataan, antara kuasa dan kemanusiaan.

Kata yang Melukai: Ketika Bahasa Menjadi Alat Dominasi

Dalam tradisi filsafat bahasa, filsuf Jerman Martin Heidegger pernah menyatakan, "Bahasa adalah rumah dari being (keberadaan)." Artinya, melalui bahasa, manusia tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun realitas. Ketika pejabat mengucapkan kata-kata seperti "kalau enggak sanggup, lebih baik serahkan mandatnya" kepada para calon guru, ia bukan hanya mengkritik, tapi mendefinisikan ulang martabat profesi. Dalam satu tarikan napas, ia mengubah guru dari pahlawan tanpa tanda jasa menjadi sosok yang harus "suci", sebuah standar transenden yang hampir mustahil dicapai manusia biasa.

Ini adalah bentuk dominasi simbolik, istilah yang diperkenalkan oleh sosiolog Prancis Pierre Bourdieu. Dominasi simbolik terjadi ketika kelompok yang berkuasa menggunakan bahasa, budaya, dan simbol untuk mengontrol persepsi dan legitimasi. Dalam konteks ini, pejabat (sebagai representasi kuasa) menggunakan bahasa untuk menegaskan superioritas moral dan intelektualnya. Dengan menyebut guru harus "suci", ia secara implisit menyatakan bahwa rakyat (dalam hal ini guru) adalah "tidak suci", "tidak layak", atau "belum cukup baik".

Padahal, menurut filsuf Jrgen Habermas, komunikasi ideal harus berlangsung dalam ruang publik yang setara, di mana semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara dan didengar. Namun, ketika pejabat berbicara dari podium, dengan mikrofon, seragam dinas, dan otoritas negara di belakangnya, ruang itu tidak lagi setara. Ia bukan lagi dialog, melainkan monolog kuasa.

Dan dalam monolog seperti itu, satu kesalahan diksi bisa menjadi pukulan moral yang sangat dalam.

Empati yang Hilang: Psikologi Komunikasi Pejabat

Dari sisi psikologis, kegagalan public speaking pejabat bukan semata soal kurangnya pelatihan, tetapi keruntuhan empati struktural. Empati, dalam psikologi sosial, adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan kondisi orang lain. Namun, dalam lingkungan birokrasi dan politik, empati sering dikorbankan demi efisiensi, kekuasaan, atau loyalitas partai.

Studi menunjukkan bahwa semakin tinggi posisi seseorang, semakin rendah tingkat empatinya. Fenomena ini dikenal sebagai "The Empathy Gap", kesenjangan empati yang terjadi ketika seseorang naik dalam hierarki kekuasaan. Pejabat yang dulu mungkin pernah merasakan kesulitan guru, honorer, atau buruh, kini hidup dalam lingkungan yang terisolasi dari realitas rakyat. Mereka bergerak di antara mobil dinas, hotel mewah, dan rapat-rapat tertutup. Dunia mereka adalah dunia angka, laporan, dan pencitraan, bukan dunia beban administrasi guru, gaji yang tak kunjung naik, atau kekhawatiran ibu-ibu yang anaknya tidak bisa sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun