Dampak Psikologis Penjarahan Rumah Pejabat dan Efek Jera dalam Dunia Politik
Sebuah Refleksi atas Kerusakan yang Melampaui Fisik
Ketika api membakar halte, ketika kaca kantor pecah berantakan, dan ketika rumah-rumah pribadi pejabat digeledah oleh massa dalam kerusuhan yang mengatasnamakan keadilan, yang hancur bukan hanya benda. Yang paling dalam terluka adalah jiwa masyarakat: rasa aman, kepercayaan terhadap hukum, dan batas antara benar dan salah yang mulai kabur.Â
Aksi penjarahan terhadap rumah-rumah seperti milik Ahmad Sahroni, Sri Mulyani, Uya Kuya, dan Eko Patrio (meskipun sebagian besar masih dalam bentuk ancaman atau insiden terbatas) telah membuka luka psikologis yang dalam, bukan hanya bagi korban, tapi bagi seluruh tatanan sosial Indonesia.
Bagi masyarakat umum, peristiwa seperti ini menimbulkan dualitas emosi yang menghancurkan kedamaian batin. Di satu sisi, ada rasa kepuasan laten: "Akhirnya mereka merasakan juga!" Â sebuah ekspresi dari amarah kolektif terhadap pejabat yang dianggap hidup mewah, korup, atau arogan. Namun di sisi lain, muncul ketakutan yang membeku: "Jika rumah pejabat bisa diserang, apakah rumah saya aman besok?"
Rasa aman, yang seharusnya menjadi hak dasar warga negara, menjadi rapuh. Tidak lagi ditentukan oleh polisi atau hukum, tapi oleh suasana politik hari itu. Ibu-ibu di permukiman elite mulai mengunci pagar lebih awal. Anak-anak ditahan dari bermain di depan rumah. Warga saling curiga: siapa di antara kita yang akan jadi sasaran berikutnya?
Yang paling tragis, batas antara keadilan dan balas dendam menjadi kabur. Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan bahwa hukum bisa bekerja. Jika pengadilan terlalu lambat, jika koruptor bebas berkeliaran, maka akankah kekerasan menjadi satu-satunya jalan? Dan ketika video penjarahan rumah pejabat beredar luas di media sosial (meski sebagian hoaks atau deepfake) maka emosi kolektif terpicu lebih cepat daripada fakta. Orang tidak lagi bertanya, "Apakah ini benar?" Tapi, "Mengapa saya tidak merasa kasihan?"
Bagi keluarga pejabat yang menjadi sasaran, trauma itu nyata. Anak-anak yang melihat rumah mereka dikepung, istri yang mengalami serangan verbal, orang tua yang tak mengerti mengapa mereka ikut disalahkan, semua ini meninggalkan luka batin yang tidak terlihat, tapi bisa berlangsung bertahun-tahun. Mereka bukan pelaku, tapi ikut menanggung dosa sang kerabat. Dalam psikologi sosial, ini disebut "kesalahan oleh asosiasi" (guilt by association) dan dampaknya bisa menghancurkan kesehatan mental, hubungan keluarga, bahkan identitas diri.
Namun, di tengah kekacauan ini, muncul satu pertanyaan yang menggema di kalangan elite: apakah ini efek jera bagi pejabat lain?
Secara psikologis, ya, efek jera itu ada, tapi bukan dalam cara yang sehat. Banyak pejabat mulai merasa tidak lagi aman. Mereka memperketat pengamanan, membatasi kehadiran publik, dan bahkan enggan menyampaikan kebijakan kontroversial. Tapi alih-alih membuat mereka lebih bertanggung jawab, ketakutan ini justru mendorong sikap defensif, menarik diri, dan bahkan lebih korup secara sembunyi-sembunyi. Karena jika sudah dianggap jahat meskipun bersih, mengapa tidak mengambil uang sambil bersembunyi?
Di sisi lain, ada juga pejabat yang benar-benar tersentuh. Mereka yang selama ini merasa kebal, tiba-tiba menyadari: "Ini bukan sekadar politik. Ini nyawa keluarga saya." Dan dari kesadaran itu, muncul perubahan: menolak tunjangan tambahan, meminta audit transparan, atau bahkan mundur dari jabatan karena merasa tidak lagi mewakili rakyat. Ini adalah efek jera yang positif lahir dari empati, bukan ketakutan.