Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meneladani Cahaya Nabi Muhammad untuk Indonesia yang Damai dan Adil

2 September 2025   21:46 Diperbarui: 2 September 2025   22:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: bernasnews)

Meneladani Cahaya Nabi Muhammad untuk Indonesia yang Damai dan Adil

(Sebuah Refleksi Pribadi Sebagai Seorang Katolik)

Di tengah badai gejolak sosial yang melanda Indonesia (demonstrasi ricuh, ketidakadilan yang memicu amarah, dan polarisasi yang mengoyak kebersamaan) cahaya keteladanan Nabi Muhammad SAW yang akan dirayakan besok Jumat, 5 September 2025 hadir sebagai lentera harapan.

Sebagai seorang Katolik, saya menemukan hikmah universal dalam hidup Beliau, yang selaras dengan ajaran Yesus tentang kasih dan perdamaian. Mari kita meneladani Nabi untuk membangun Indonesia yang lebih adil, damai, dan penuh kasih pada 2025 ini.

Di Indonesia hari ini, jalanan bergemuruh oleh suara rakyat yang menuntut keadilan. Namun, kemarahan itu sering ternodai oleh kekerasan: fasilitas umum dibakar, harta rakyat dirusak, dan dialog digantikan oleh gas air mata.

Di tengah kegelapan ini, saya, seorang Katolik, merenungi Maulid Nabi bukan sebagai ritual iman, melainkan sebagai panggilan moral. Nabi Muhammad SAW, yang dijuluki Rahmatan lil 'Alamin (rahmat bagi seluruh alam) menawarkan teladan kemanusiaan yang menyentuh hati, melintasi batas agama. Beliau adalah cerminan nilai-nilai Injil yang saya imani: "Berbahagialah orang yang membawa damai" (Matius 5:9).

Bayangkan Madinah di masa Nabi: sebuah masyarakat yang beragam, dengan umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan. Di sana, Nabi membangun harmoni bukan dengan pedang, melainkan dengan hati yang lapang, dialog yang bijak, dan keadilan yang teguh.

Ketika Indonesia terpuruk dalam ketimpangan (pejabat menaikkan tunjangan di tengah kelaparan rakyat, atau aparat lebih cepat menembak daripada mendengar) teladan Nabi menjadi kompas yang kita butuhkan.

Saat diusir dari Mekkah, Nabi tidak membalas dengan dendam. Ketika kembali sebagai pemenang, ia memaafkan musuh-musuhnya, bahkan mereka yang pernah menyakitinya, seperti Hindun binti Utbah. Tindakan ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang memutus rantai kebencian.

Di Indonesia, di mana kemarahan rakyat atas korupsi dan ketidakadilan sering disusupi provokasi hingga merusak fasilitas publik, kita diajak meneladani pemaafan Nabi. Tuntutlah keadilan, tapi jangan biarkan amarah menghancurkan warisan bangsa yang dibangun dari keringat rakyat sendiri.

Nabi juga mengajarkan musyawarah sebagai jalan damai. Dalam Perjanjian Hudaibiyah, Beliau memilih dialog dengan kaum Quraisy meski dianggap merugikan oleh sebagian sahabat. Hasilnya? Perdamaian yang membuka jalan bagi persatuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun