Kerendahan Hati di Tengah Kesombongan Pejabat
Ketika seorang pejabat menertawakan rakyat dengan kalimat "Kalian tidak paham!", di mana letak kerendahan hati yang seharusnya menjadi jiwa kepemimpinan? Lukas 14:10 menggugah: "Duduklah di tempat yang paling rendah", bukan untuk dipuji, tetapi untuk belajar mendengar jerit orang terpinggirkan.
Â
Yesus mengawali ajaran-Nya dalam perjamuan di rumah seorang Farisi dengan dua pesan yang mengguncang mentalitas dunia: "Apabila engkau diundang, duduklah di tempat yang paling rendah" (ay. 10) dan "Undanglah orang-orang miskin, orang cacat, orang lumpuh, orang buta" (ay. 13).
Di sini, Kerajaan Allah justru hadir dalam kerendahan hati: bukan dalam ambisi merebut kursi terhormat atau mencari keuntungan dari yang berkuasa. Yesus menegaskan: "Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan" (ay. 11).
Sayangnya, realita hari ini justru berlawanan. Banyak pejabat justru berebut tempat duduk terhormat dengan sikap arogan: bicara kasar, memandang rakyat sebagai "beban", atau menertawakan aspirasi masyarakat seolah mereka tak berharga.
Saat seorang pemimpin berkata, "Rakyat itu harusnya bersyukur saya mau dengar keluhan!", "kami anggota dewan beda dengan rakyat jelata", atau "rakyat yang demo itu tolol"Â ia telah membangun tembok kesombongan yang justru mengubur makna sejati kepemimpinan: melayani, bukan mendominasi.
Kebesaran yang Tumbuh dari Kerendahan Hati (Kitab Putra Sirakh 3:17-18, 20, 28-29)
Sirakh mengingatkan: "Semakin tinggi kedudukanmu, semakin dalam kerendahan hatimu; maka engkau akan mendapat kasih karunia di hadapan Tuhan" (ay. 20).
Ayat ini seperti tamparan bagi pejabat yang lupa diri. Kedudukan tinggi bukanlah alat untuk menyombongkan diri, melainkan panggilan untuk makin merunduk seperti pohon yang berbuah lebat, semakin berisi, semakin menunduk.
Sirakh juga menegaskan bahwa Tuhan "mencari orang yang hancur hati" (ay. 28) dan "menyembuhkan luka orang yang rendah hati" (ay. 29). Ini kontras dengan pejabat yang merendahkan rakyat dengan kalimat seperti, "Kalian tidak paham urusan negara!"
Padahal, sejatinya, kebesaran seorang pemimpin diukur dari seberapa ia mampu mendengar jerit orang kecil, bukan seberapa keras ia membungkam suara mereka. Kesombongan hanya membuahkan kehampaan, sementara kerendahan hati membuka pintu kasih karunia Tuhan.
"Semakin tinggi kedudukanmu, semakin dalam kerendahan hatimu" (Sirakh 3:20). Pejabat yang sombong membangun tembok kekuasaan, sementara pemimpin sejati justru merunduk seperti Kristus---mendengar suara tukang becak, bukan hanya suara pengusaha.
Dari Sinai yang Menakutkan ke Sion yang Penuh Kasih (Ibrani 12:18-19, 22-24a)
Surat Ibrani membandingkan dua "gunung": Gunung Sinai yang menakutkan: dengan guruh, api, dan suara yang membuat orang bergetar (ay. 18-19), dan Gunung Sion yang penuh sukacita, tempat kita "datang kepada kota Allah yang hidup, yaitu Sion" (ay. 22).