Menjadi Guru yang Membumi: Jelajah Edukasi Dasar Berdayakan Guru untuk Tumbuhkan Potensi Anak Zaman Now
Di bawah rindangnya pohon mangga, rambutan dan pohon lainnya di kompleks Sekolah Mangunan Cupuwatu, Kalasan, Sleman, puluhan guru berkumpul dengan semangat yang tak kalah hijau. Kamis pagi, 28 Agustus 2025, mendung dan hujan sejak pagi menambah segarnya udara yang khas pedesaan bercampur dengan riuh rendah diskusi para pendidik yang hadir dalam Jelajah Edukasi Dasar (JED). Acara dua hari yang diselenggarakan oleh Dinamika Edukasi Dasar dan Sekolah Mangunan ini mengusung tema yang menggema dalam setiap sesi: "Menjadi Guru yang Membumi dan Menyuburkan: Guru yang Selalu Belajar, Berefleksi, dan Berbagi untuk Mencapai Profil Anak Sesuai Konteks Zaman".
Dengan peserta sekitar 150 orang, didominasi ibu guru dari berbagai sekolah di Sleman, Kebumen, hingga Purwokerto, JED hari pertama menjadi ruang dialog hidup tentang bagaimana pendidikan tak hanya sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga menyuburkan jiwa.
Â
Dari Seremoni ke Jiwa Pendidikan
Acara dimulai dengan seremoni sederhana yang penuh makna. Tarian selamat datang dan iringan gamelan oleh anak-anak Mangunan menyambut para tamu sekaligus menjadi simbol penghormatan pada tradisi sekaligus penegasan bahwa pendidikan harus berakar pada konteks lokal. Namun, momentum berubah saat Romo Dr. Bernardus Singgih Guritno, Pr., tampil sebagai pembicara utama (hari pertama) dalam Gelar Wicara bertajuk "Deep Learning Menumbuhkan Self Efficacy".
Dengan suara lembut namun tegas, Romo Bernardus Singgih (yang akrab dipanggil Romo Singgih) mengajak para guru untuk merenung: "Apakah anak-anak kita hanya belajar untuk lulus ujian, atau justru tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri menghadapi dunia dengan berbagai pengalaman keberhasilan mereka?" Tiga kata kunci pun menjadi kompas: Mindful (penuh kesadaran), Meaningful (bermakna), dan Joyful (penuh sukacita).
"Deep Learning bukan sekadar hafalan, tapi proses di mana anak merasakan arti dari apa yang dipelajari. Saat mereka menemukan makna, di situlah self efficacy, keyakinan diri untuk mengatasi tantangan, mulai bersemi," ujarnya. Seorang guru SD dari Sleman, Bu Siti (bukan nama sebenarnya), mengangguk-angguk: "Selama ini saya terjebak pada target kurikulum. Sekarang saya sadar, anak perlu ruang untuk 'merasakan' ilmu, bukan hanya menghafal."
Sesi Kelas: Dari Mitigasi Bencana hingga Percakapan dengan Orang Tua
Usai sesi inspiratif Romo Singgih, peserta terbagi dalam lima kelas paralel. Saya, mewakili IKAFITE (Ikatan Alumni Filfasat dan Teologi Kentungan), memilih Kelas D, yang menggabungkan dua topik tak terduga: "Manajemen Mitigasi Bencana di Sekolah" dan (Me)"Peningkatkan Kepercayaan Diri Anak melalui Peningkatan Kemampuan Menulis dan Komunikasi dengan Orang Tua." Judulnya tema kedua Peningkatan, tetapi saya memakai kata Meningkatkan untuk memperlihatan sebuah upaya aktif yang dilakukan guru pada siswa. Namun pada kesempatan ini saya tidak untuk mengoreksi penulisan judul eksperimen narasumber. Saya hanya hadir sebagai pendengar yang siap menerima semua pengalaman guru Mangunan yang luar biasa.
Di sesi pertama, Jeanne Vika, guru yang akrab disapa Bu Vika, membagikan pengalamannya mengajarkan mitigasi bencana kepada siswa SD. "Mengenalkan gempa atau banjir pada anak itu seperti menari di atas kulit telur," katanya sambil tersenyum. Ia mencontohkan bagaimana siswa diajak membuat "peta evakuasi" dari kertas warna-warni, sementara istilah teknis seperti tsunami diubah menjadi "ombak besar yang marah". "Bahasa harus gamblang, tapi tidak traumatik. Anak perlu tahu bahaya, namun tetap merasa aman," tegasnya.
Sesi kedua di Kelas D diisi oleh Chatarina Iga, yang fokus pada peran guru dalam membangun kepercayaan diri anak. Bu Iga, yang berlatar belakang seni dengan suaranya yang hangat seperti obrolan dengan sahabat, menekankan pentingnya keterbukaan dengan orang tua. "Ketika guru dan orang tua berkomunikasi jujur, kita bisa melihat potensi tersembunyi anak. Misalnya, anak yang pemalu mungkin justru punya bakat menulis. Tugas kita adalah memberinya panggung," ujarnya. Ia membagikan kisah seorang siswa yang awalnya tak mau bicara di kelas, hingga akhirnya berani membacakan puisi hasil karyanya setelah guru dan orang tua bekerja sama mengembangkan minat menulisnya.