Tempat Duduk yang Berbicara: Catatan di Komuter Line Yogyakarta-Palur
Pagi itu, langit Yogyakarta masih memerah lembut di balik gedung-gedung tua kota. Udara belum terlalu panas, tapi sudah terasa gerah oleh hiruk-pikuk stasiun. Saya berdiri di peron Stasiun Lempuyangan (biasanya saya naik dari Stasiun Maguwo. Tapi sekali mencoba membandingkan naik ojol dari rumah ke Stasiun Lempunyangan, ternyata lebih murah dibanding saya harus ke Stasiun Maguwo), menunggu kereta komuter yang akan membawa saya ke Palur, stasiun terakhir komuter dari Yogyakarta atau Stasiun pertama dari Karanganyar. Komuter Line Yogyakarta-Palur, jalur yang sering dianggap biasa-biasa saja, tapi bagi saya, pagi itu menjadi panggung kecil bagi sebuah drama kemanusiaan yang tak terucap.
Kereta tiba. Pintu terbuka. Orang-orang berdesakkan keluar dan masuk, seperti air yang mengalir melalui celah sempit. Saya berhasil mendapatkan tempat duduk di gerbong kedua. Bukan karena cepat, tapi karena kebetulan. Di sebelah saya, seorang ibu muda duduk dengan perut membuncit, tangannya memegang tas kecil, wajahnya lelah, matanya berkantung. Ia memakai kerudung biru muda, rapi, tapi bajunya kusut oleh perjalanan. Di depannya, seorang laki-laki muda, mungkin mahasiswa, sibuk dengan ponselnya. Ia duduk di kursi prioritas (yang seharusnya untuk lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas)tapi tampaknya ia tidak menyadari atau pura-pura tidak tahu.
Saya diam. Tapi hati saya tidak.
Sejenak kemudian, seorang perempuan tua naik ke gerbong. Rambutnya putih, tubuhnya bungkuk, tangannya berpegangan pada tiang besi dengan erat. Matanya mencari-cari, tapi semua kursi terisi. Ia berdiri di dekat pintu, bergoyang pelan setiap kali kereta berbelok. Di sebelah saya, ibu hamil itu melihatnya. Ia menunduk, lalu menarik napas panjang. Tapi ia tidak berdiri. Mungkin karena tubuhnya juga butuh istirahat. Mungkin karena malu. Mungkin karena takut.
Lalu, dari ujung gerbong, seorang remaja laki-laki berdiri. Ia mengenakan seragam sekolah, tas gendong di bahu, rambutnya masih acak-acakan. Ia berjalan perlahan ke arah si nenek, lalu tersenyum. "Nenek, silakan duduk," katanya pelan. Nenek itu menggeleng, malu. "Tidak apa-apa, nak. Saya kuat." Tapi remaja itu tetap menawarkan, sampai akhirnya si nenek duduk dengan syukur yang terlihat jelas di matanya.
Saya terdiam.
Di dunia yang sering terasa dingin, tindakan kecil seperti itu seperti secangkir kopi panas di pagi yang berkabut. Bukan karena besar, tapi karena waktunya tepat. Karena tempatnya pas. Karena hatinya tulus.
Saya pun mulai berpikir: seberapa sering kita mengabaikan kursi prioritas bukan karena tidak tahu, tapi karena malas? Karena lelah? Karena merasa "saya juga butuh"? Saya pun pernah seperti itu. Pernah duduk di kursi prioritas, padahal tubuh saya sehat, hanya karena kebetulan dapat tempat. Tapi hari ini, melihat ibu hamil yang lelah, nenek yang berdiri, dan remaja yang peduli, saya merasa malu.
Saat kereta mendekati Stasiun Solo Balapan, saya berdiri ketika seorang ibu naik dan berdiri persis depan saya. "Ibu, silakan duduk," kata saya pada si ibu hamil itu. Ia terkejut, lalu tersenyum. "Terima kasih, Mas. Doa saya untuk Anda." Saya hanya mengangguk. Tapi di hati, ada hangat yang sulit dijelaskan.