Akibatnya, posisi strategis (menteri, wamen, anggota dewan) dipenuhi oleh orang-orang yang lebih piawai dalam politik uang daripada dalam pelayanan publik. Mereka tidak dilatih untuk memimpin, tapi untuk bertahan dalam permainan kekuasaan. Dan dalam permainan seperti itu, korupsi bukan aib, ia adalah strategi.
Pendidikan Bukan Penyelamat, Tapi Korban
Ironisnya, sistem pendidikan justru menjadi korban dari sistem kepemimpinan yang bobrok. Dana pendidikan sering dikorupsi, proyek rehabilitasi sekolah dikerek harga, dan anggaran pelatihan guru dikuras. Guru-guru yang seharusnya fokus mengajar, malah harus berjuang karena gaji tidak dibayar tepat waktu akibat anggaran yang dikorupsi oleh pejabat yang lulusan universitas ternama.
Jadi, jangan salahkan sekolah karena melahirkan pejabat korup. Salahkan sistem yang memilih pejabat bukan karena integritas, tapi karena kepentingan partai.
Jalan Keluar: Reformasi Sistem Kepartain, Bukan Kambing Hitam Guru
Jika kita ingin menghentikan korupsi, kita harus berani menyentuh akar masalah: Pertama, Tutup celah "mahar politik" dengan regulasi ketat dan transparansi pendanaan partai.
Kedua, Reformasi sistem rekrutmen pejabat agar berbasis kompetensi, bukan kedekatan partai.
Ketiga, Perkuat independensi KPK dan lembaga pengawas agar tidak mudah diintervensi kekuasaan.
Keempat, Buka ruang bagi calon independen dalam pemilu, sehingga rakyat punya pilihan di luar mesin partai.
Dan kelima, Terapkan sanksi tegas bagi partai yang terbukti melindungi koruptor.
Penutup: Hentikan Drama Penyalahan, Mulai Perbaiki Sistem
Setiap kali ada pejabat korup ditangkap, kita selalu mengulangi siklus yang sama: marah, salahkan sekolah, salahkan guru, lalu lupa. Padahal, masalahnya bukan di mana mereka belajar, tapi di mana mereka dipilih.
Pendidikan bisa membentuk karakter, tapi sistem politik bisa menghancurkannya dalam hitungan bulan. Kita tidak butuh lebih banyak sekolah bermoral, kita butuh partai yang bermoral, sistem rekrutmen yang adil, dan kekuasaan yang tidak korup.
Karena selama partai politik masih menjadi pabrik elite berbasis uang dan jaringan, maka menteri, wamen, dan anggota dewan akan terus jadi koruptor bukan karena sekolahnya jelek, tapi karena sistemnya memang dirancang untuk itu.