Bukan Salah Guru, Bukan Salah Sekolah: Korupsi Pejabat adalah Buah dari Sistem Kepartain yang Bobrok
Baru-baru ini, publik kembali dikejutkan oleh penangkapan seorang menteri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum reda, nama wakil menteri dan beberapa anggota dewan ikut terseret dalam kasus suap, gratifikasi, hingga penggelapan anggaran. Reaksi masyarakat? Marah, kecewa, dan (seperti biasa) muncul pertanyaan klise: "Dulu dia sekolahnya di mana? Apa sistem pendidikannya tidak mengajarkan etika?"
Pertanyaan itu terdengar logis, tapi jauh dari akar masalah. Jangan salahkan sistem pendidikan. Jangan pula menyalahkan guru yang mengajar matematika atau sejarah. Karena korupsi bukan lahir di ruang kelas, melainkan dibesarkan di ruang rapat partai, di balik pintu tertutup koalisi, dan di antara jaringan kekuasaan yang saling melindungi.
Pendidikan Bukan Musuh: Ia Korban dari Sistem yang Lebih Besar
Mari kita jujur: sistem pendidikan kita memang tidak sempurna. Ada ketimpangan, ada guru yang digaji pas-pasan, ada sekolah tanpa listrik. Tapi tidak satu pun kurikulum di Indonesia yang mengajarkan cara korupsi. Tidak ada buku pelajaran yang mengatakan, "Untuk menjadi pejabat sukses, kamu harus menerima uang dari kontraktor." Sebaliknya, nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan diajarkan dari SD hingga SMA, meskipun mungkin belum cukup kuat, tapi setidaknya ada.
Lalu mengapa lulusan yang sama (yang pernah menghafal Pancasila, yang pernah menulis karangan tentang integritas)bisa berubah menjadi predator kekuasaan?
Jawabannya bukan di sekolah, tapi di sistem politik dan kepartaian yang rusak.
Sistem Kepartain: Pabrik Calon Koruptor yang Legal
Bayangkan proses menjadi pejabat di Indonesia. Anda tidak naik karena kompetensi, rekam jejak, atau kontribusi terhadap rakyat. Anda naik karena loyalitas pada partai, uang, dan jaringan. Untuk menjadi anggota dewan, Anda harus membayar mahal: dari pendaftaran hingga "uang mahar" untuk mendapatkan nomor urut bagus. Untuk menjadi menteri, Anda harus berasal dari partai koalisi, dan sering kali, posisi itu adalah imbalan politik, bukan hasil seleksi objektif.
Dalam sistem seperti ini, korupsi bukan lagi penyimpangan, ia adalah bagian dari skema bertahan hidup. Calon pejabat sudah "berinvestasi" besar-besaran untuk menang pemilu atau mendapat jabatan. Maka, ketika berkuasa, mereka merasa berhak mengembalikan modal dan mengambil untung. Ini bukan soal moral individu, tapi soal ekosistem yang memaksa pejabat untuk korupsi agar bisa bertahan.
Lihat saja pola-pola kasus korupsi: selalu melibatkan jaringan, selalu ada pembagian "kue", dan selalu dilindungi oleh kekuasaan yang lebih besar. Ini bukan tindakan individu yang tergoda, tapi kolusi sistemik yang direstui oleh struktur kekuasaan.
Partai Politik: Bukan Mesin Demokrasi, Tapi Mesin Rekrutmen Elit
Partai politik seharusnya menjadi wadah kaderisasi, tempat mencetak pemimpin berintegritas. Tapi kenyataannya? Banyak partai justru menjadi agen rekrutmen elit berdasarkan uang dan kedekatan, bukan kapasitas. Mereka tidak mencari orang-orang yang punya visi, tapi yang bisa membawa dana kampanye, atau yang punya pengaruh di daerah.
Akibatnya, posisi strategis (menteri, wamen, anggota dewan) dipenuhi oleh orang-orang yang lebih piawai dalam politik uang daripada dalam pelayanan publik. Mereka tidak dilatih untuk memimpin, tapi untuk bertahan dalam permainan kekuasaan. Dan dalam permainan seperti itu, korupsi bukan aib, ia adalah strategi.
Pendidikan Bukan Penyelamat, Tapi Korban
Ironisnya, sistem pendidikan justru menjadi korban dari sistem kepemimpinan yang bobrok. Dana pendidikan sering dikorupsi, proyek rehabilitasi sekolah dikerek harga, dan anggaran pelatihan guru dikuras. Guru-guru yang seharusnya fokus mengajar, malah harus berjuang karena gaji tidak dibayar tepat waktu akibat anggaran yang dikorupsi oleh pejabat yang lulusan universitas ternama.
Jadi, jangan salahkan sekolah karena melahirkan pejabat korup. Salahkan sistem yang memilih pejabat bukan karena integritas, tapi karena kepentingan partai.
Jalan Keluar: Reformasi Sistem Kepartain, Bukan Kambing Hitam Guru
Jika kita ingin menghentikan korupsi, kita harus berani menyentuh akar masalah: Pertama, Tutup celah "mahar politik" dengan regulasi ketat dan transparansi pendanaan partai.
Kedua, Reformasi sistem rekrutmen pejabat agar berbasis kompetensi, bukan kedekatan partai.
Ketiga, Perkuat independensi KPK dan lembaga pengawas agar tidak mudah diintervensi kekuasaan.
Keempat, Buka ruang bagi calon independen dalam pemilu, sehingga rakyat punya pilihan di luar mesin partai.
Dan kelima, Terapkan sanksi tegas bagi partai yang terbukti melindungi koruptor.
Penutup: Hentikan Drama Penyalahan, Mulai Perbaiki Sistem
Setiap kali ada pejabat korup ditangkap, kita selalu mengulangi siklus yang sama: marah, salahkan sekolah, salahkan guru, lalu lupa. Padahal, masalahnya bukan di mana mereka belajar, tapi di mana mereka dipilih.
Pendidikan bisa membentuk karakter, tapi sistem politik bisa menghancurkannya dalam hitungan bulan. Kita tidak butuh lebih banyak sekolah bermoral, kita butuh partai yang bermoral, sistem rekrutmen yang adil, dan kekuasaan yang tidak korup.
Karena selama partai politik masih menjadi pabrik elite berbasis uang dan jaringan, maka menteri, wamen, dan anggota dewan akan terus jadi koruptor bukan karena sekolahnya jelek, tapi karena sistemnya memang dirancang untuk itu.
Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan guru. Sudah saatnya kita menyalahkan sistem yang membiarkan korupsi tumbuh subur di balik jas dan dasi.
Korupsi bukan soal kurangnya pendidikan moral. Ia soal kekuasaan yang tidak diawasi, sistem yang tidak adil, dan politik yang tidak bermartabat. Dan itu semua dimulai bukan di kelas, tapi di kantor pusat partai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
