Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

[5:habis] Di Antara Ombak dan Harapan, Catatan dalam Kunjungan Industri yang Menguji Jiwa

24 Agustus 2025   21:13 Diperbarui: 24 Agustus 2025   21:30 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(para guru pendamping foto bersama seusai nonton tari Barong, foto: Ibu Rian)

Di Antara Ombak dan Harapan: Catatan dalam Kunjungan Industri yang Menguji Jiwa

Di antara deru mesin bus, debur ombak Ketapang-Gilimanuk, Kuta, Jimbaran dan Tanah Lot, dan senyum lelah di tengah malam, 13 guru SMK Kesehatan Binatama berdiri diam-diam di balik layar: menjaga, menguatkan, dan menyatukan. Bukan hanya siswa yang belajar dalam kunjungan industri ke Bali ini, tapi juga mereka, yang menemukan makna baru dari pengabdian: bahwa mendidik bukan sekadar mengantar anak ke pelajaran, tapi menemani mereka melewati badai, dengan hati yang tak pernah lelah. Inilah kisah perjalanan yang tak terencana, tapi penuh hikmah tentang cinta, kebersamaan, dan keluarga yang terbentuk di jalan.

Lima hari, empat destinasi, seribu cerita. Bukan hanya siswa yang belajar di luar kelas, di perjalanan panjang dari Sleman ke Bali ini, 13 guru SMK Kesehatan Binatama menjadi pelindung, penjaga, dan sahabat. Dari penyeberangan malam yang menegangkan hingga tawa di tepi Jimbaran, mereka adalah bayangan yang tak pernah lelah. Inilah kisah kunjungan industri yang bukan sekadar edukasi, tapi perjalanan hati, kebersamaan, dan ketangguhan yang lahir di tengah badai.

Dari Sleman ke Selat Bali: Awal Sebuah Perjalanan yang Tak Terduga

Bus berangkat pagi, diiringi doa dan canda. Tapi tak seorang pun tahu, perjalanan darat yang panjang akan menjadi ujian pertama. Di Situbondo, sebagian siswa mulai lelah. Yang belum pernah bepergian jauh, gemetar membayangkan penyeberangan malam dari Ketapang ke Gilimanuk. Di sinilah peran 13 guru mulai terasa, seperti guardian angels yang tak pernah tidur.

Bu Nurul Puspitasari, salah satu pendamping, mengenang: "Kami bukan hanya pengawas. Kami adalah tempat mereka bertanya, tempat mereka menangis, tempat mereka tertawa, tanpa jarak."

Di Balik Hangatnya Sambutan, Ada Tangan-tangan yang Tak Pernah Lelah

Di RS PKU Muhammadiyah Surakarta, siswa sibuk mengamati proses farmasi dan keperawatan. Tapi di balik layar, Bu Putri dan rekan guru lainnya sudah memastikan jadwal, konsumsi, dan keselamatan semua anak. "Fisik terkuras, istirahat terbatas, tapi kami tak boleh lemah," katanya. "Karena jika kami goyah, mereka akan ikut goyah."

Ada insiden kecil misalnya: tas/dompet ketinggalan, mual di kapal, ada yang terlambat bangun. Semua menjadi tanggung jawab guru. Tapi tak satu pun mengeluh. Mereka memilih tertawa saat seseorang terpeleset di kamar mandi umum, atau saling gantian menjaga siswa yang sakit.

Bali Bukan Hanya Destinasi, Tapi Guru Kehidupan

Di PT Varash Indonesia Maju, aroma herbal menyambut mereka. Siswa antusias menyaksikan proses produksi. Tapi bagi Bu Nurul, yang paling berkesan adalah kedekatan. 
"Kami makan bersama, sholat subuh berjamaah sebelum tiba di rumah makan Soka Indah, dan bercerita panjang di malam hari. Kami bukan sekadar rombongan, kami jadi keluarga."

Di Sekar Jagat, para siswa mendengarkan narasi sejarah dan proses pembuatan lulur Sekar Jagat. Tawa riuh. Tapi Bu Putri masih sibuk memastikan semua siswa masuk sesuai jadwal. "Ada yang terlambat, ada yang lupa waktu. Tapi di situlah kita belajar sabar, dan saling menguatkan."

Saat Badai Datang, Kami Berdiri Berjajar

Bukan semua berjalan mulus. Jadwal molor, transportasi bermasalah karena sedikit macet di Denpasar, ada siswa yang stres dan menangis karena masuk angin atau sakit perut atau juga kejadian tak terduga lainnya. Di tengah kelelahan, Bu Putri mengakui:
"Perjalanan ini menguji mental. Kami lelah, tapi tak boleh menyerah. Justru di saat sulit, kebersamaan kami muncul, tanpa ego, tanpa jarak."

Guru senior dan junior saling membantu. Yang muda membawa beban fisik, yang senior memberi ketenangan. Mereka saling mengisi, seperti puzzle yang tak sempurna tanpa satu keping.

(di pintu masuk Tanah Lot, foto: Ibu Rian)
(di pintu masuk Tanah Lot, foto: Ibu Rian)

Tanah Lot dan Air Suci: Simbol Ketangguhan yang Tawar

Di ujung perjalanan, saat matahari mulai tenggelam di Tanah Lot, para siswa berani mengelus ular suci dan meminum air tawar di tengah laut. Simbol keberanian. Tapi bagi para guru, simbol lain yang lebih dalam: ketahanan.
"Kami berhasil membawa mereka pulang dengan selamat, sehat, dan membawa pulang lebih dari sekadar ilmu, tapi juga jiwa," tulis Bu Nurul.

"Kami Bukan Hanya Pendamping: Kami Keluarga"

Bagi Bu Nurul, kunjungan industri ini adalah tentang kedekatan yang tulus. "Kami saling mengenal lebih dalam. Antara guru, antara siswa, antara kami semua. Kami seperti keluarga yang tumbuh bersama, menghadapi segalanya dengan tawa dan pelukan."

Sementara Bu Putri menegaskan: "Ini pengalaman pertama saya, dan sungguh mengguncang. Saya belajar bahwa kebersamaan sejati lahir bukan di saat nyaman, tapi saat kita diuji. Semakin keras badai, semakin erat genggaman kita."

Epilog: Harapan di Balik Lelah

Ketika bus kembali ke Sleman, para guru tak langsung pulang. Mereka duduk bersama, menulis laporan, menata foto, dan tertawa kecil mengingat momen-momen kocak. Lelah, tapi hati penuh.

"Semoga ke depan, perjalanan bisa lebih lancar," harap Bu Putri. "Tapi jujur, saya tidak ingin kehilangan esensi ini, kebersamaan, perjuangan, dan cinta yang tumbuh di jalan."

Penutup: Terima kasih Tak Bertepi

Kunjungan industri bukan hanya tentang siswa yang belajar dunia kerja. Di SMK Kesehatan Binatama, ia menjadi perjalanan jiwa ketika 13 guru yang hadir bersama (maupun kepala sekolah dan para guru lain yang tetap menjalankan proses belajar mengajar di kelas) berdiri di garda terdepan, bukan sebagai pengawas, tapi sebagai pelindung, sahabat, dan keluarga. Di antara ombak Jimbaran dan pura Tanah Lot, mereka menulis cerita yang tak akan terlupa: bahwa mendidik bukan hanya soal mengajar, tapi juga menemani sampai di ujung jalan.

Terima kasih untuk para guru yang tak pernah terlihat, tapi selalu hadir. Terima kasih SMK Kesehatan Binatama, Bu Nuri, Bu Ulfy dan Bu Agustina yang sudah mengajak saya untuk ikut pertama kalinya. Jika dibutuhkan, ke depannya saya selalu siap. Terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun