Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[filsafat] Menantu dan Mertua: Antara Ujian Karakter dan Harga Diri yang Tidak Boleh Dinegosiasikan

23 Agustus 2025   21:14 Diperbarui: 23 Agustus 2025   21:14 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Chat GPT, dokpri)

Saya pernah mendengar kisah seorang menantu perempuan dari suku Jawa yang menikah dengan pria Sunda. Ia tak bisa berbahasa Jawa dengan lancar, dan setiap kali berkunjung, ibu mertuanya hanya diam, tak menyapa. Ia merasa diasingkan. Tapi alih-alih menyerah, ia belajar. Ia mulai menonton sinetron Jawa, belajar kosakata, dan membawa kue khas Jawa saat berkunjung. Lama-lama, senyuman mulai muncul. Bukan karena ia menyerah pada budaya, tapi karena ia memilih jalan empati bukan tunduk, tapi menyambung.

Itu bedanya antara menghormati dan menyerah. Kita bisa memilih untuk datang dengan sopan, berpakaian rapi, membawa buah tangan, dan menunjukkan minat pada kehidupan mertua. Tapi kita juga berhak mengatakan, "Saya tidak nyaman dengan cara Ibu bicara seperti itu." Kita berhak menegaskan batas, selama dilakukan dengan kepala tegak dan hati yang tenang.

Karena batas yang sehat bukan bentuk pembangkangan. Ia adalah bentuk kasih pada diri sendiri, pada pasangan, dan pada hubungan yang ingin dibangun.

Pasanganmu Harus Jadi Sekutumu, Bukan Penonton

Yang paling menyakitkan bukan mertua yang ketus. Yang paling menyakitkan adalah pasangan yang diam. Yang paling menyakitkan adalah saat kita diserang, dan yang kita cintai hanya berdiri di pinggir, seolah-olah itu bukan urusannya.

Dalam hubungan, pasangan harus menjadi sekutu, bukan penonton. Ia harus bisa membedakan antara ibunya yang cemas dan istrinya yang terluka. Ia harus punya keberanian untuk berkata, "Ma, aku menghargai Ibu, tapi aku juga harus melindungi dia."

Karena tanpa dukungan itu, setiap pertemuan dengan mertua akan terasa seperti medan perang, di mana kita sendiri yang harus bertarung, tanpa bala bantuan. Dan dalam peperangan seperti itu, siapa pun pasti akan kelelahan.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Lanjut atau Tinggalkan? Jawabannya Ada di Dalam Dirimu

Jadi, apakah kita harus lanjut atau tinggalkan?

Tidak ada jawaban universal. Tapi ada pertanyaan yang harus dijawab jujur: 1) Apakah aku masih merasa utuh sebagai manusia setelah bertemu mereka? 2) Apakah pasanganku selalu berada di sisiku, bukan di belakang bayangannya? Dan 3) Apakah hubungan ini memperkaya hidupku, atau justru mengurasnya?

Jika jawabannya adalah rasa sakit yang berulang, harga diri yang terus digerus, dan cinta yang terasa seperti beban, maka mungkin, sudah saatnya untuk pergi. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita cukup kuat untuk memilih kebahagiaan.

Sebaliknya, jika meski ada gesekan, ada ruang untuk dialog, ada usaha dari semua pihak, dan cinta masih terasa hangat, maka mungkin, ini adalah proses yang perlu waktu. Dan waktu, kadang, adalah obat terbaik.

Akhir Kata: Cinta yang Sehat Tidak Harus Dibayar dengan Diam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun