Commuting Jarak Jauh dengan Bus Antar Kota: Saat Perjalanan Menjadi Cerita, Bukan Sekadar Perpindahan
[31 tahun lalu tepatnya 8 Agustus 1994 saya menumpang trans Flores mulai dari Ruteng menuju Surabaya. Perjalanan selama tiga hari dua malam itu melewati selat Sape (Labuan Bajo-Sape/Bima), pulau Sumbawa, selat Lombok (Sumbawa-Lombok), pulau Lombok, selat Lembar (Lombok-Bali), pulau Bali, selat Bali (Gilimanuk-Ketapang) dan pulau Jawa (dengan perhentian terakhir di Surabaya. Kemudian sambung dengan travel menuju Salatiga. Sebuah perjalanan panjang yang amat melelahkan. Pada masa itu belum dikenal istilah commuting. Lelah dan senang bercampur menjadi satu. Saya mencoba menggambarkan kembali kenangan itu dengan tulisan prosa esai berikut ini. Meski tidak sungguh menggambarkan kenyataan kala itu, namun cukup sebagai pintu masuk untuk memahami makna commuting]
***
Pukul 03.00 dini hari. Udara masih gelap, dingin menyusup lewat celah jaket. Di terminal antar kota, lampu kuning menyala redup. Penumpang berbaris, mengantre tiket, mengangkat tas besar ke bagasi bawah. Beberapa masih menguap, mata belum sepenuhnya terbuka. Yang lain sudah duduk tenang, memeluk ransel seperti pelindung. Mereka bukan turis yang sedang liburan. Mereka adalah komuter jarak jauh, mereka yang setiap minggu, bahkan setiap hari, menempuh ratusan kilometer dengan bus antar kota.
Ini bukan perjalanan singkat. Ini bisa 6 jam. 8 jam. 12 jam. Bahkan berhari-hari. Dari kampung halaman ke kota besar. Dari rumah ke tempat kerja. Dari keluarga ke tuntutan hidup. Dan dalam waktu yang begitu panjang, commuting dengan bus antar kota bukan lagi soal transportasi, ia berubah menjadi pengalaman hidup.
Bus Antar Kota: Ruang Transisi yang Penuh Makna
Bayangkan: kamu duduk di kursi empuk, tapi tidak terlalu empuk. AC menyala, tapi kadang terlalu dingin atau tiba-tiba mati. Musik dangdut atau film laga diputar dari layar depan. Suara mesin menghentak pelan, ritmis, seperti detak jantung yang tak pernah berhenti. Jendela di sampingmu memperlihatkan jalanan yang terus bergerak, desa, sawah, kota, terowongan, jembatan.
Di sinilah kamu menghabiskan seperempat hari, atau bahkan lebih. Dan dalam waktu itu, otakmu punya ruang untuk berjalan-jalan juga.
Commuting jarak jauh dengan bus bukan seperti naik motor atau kereta yang padat dan penuh tekanan. Ia memberimu waktu. Waktu untuk tidak melakukan apa-apa. Waktu untuk memilih: tidur, membaca, menulis, menatap langit, atau sekadar merenung bahkan bolak balik ke kamar mandi bis hanya untuk merentangkan biar tidak kejang dan kesemutan. [pada masa itu, bis antarkota atau antarpulau dan antarprovinsi dilengkapi dengan toilet, supaya yang kebelet tidak harus mengganggu sopir untuk minta berhenti di pom bensin].
Bagi banyak orang, perjalanan panjang ini adalah satu-satunya waktu dalam seminggu yang benar-benar milik mereka sendiri. Tidak ada atasan, tidak ada notifikasi kerja, tidak ada tuntutan keluarga. Hanya kamu, jalan raya, dan pikiranmu yang mengembara.
Psikologi Komuter Jarak Jauh: Antara Rindu dan Tanggung Jawab
Siapa saja yang melakukan commuting jarak jauh dengan bus antar kota? Mereka adalah: 1) Pekerja migran yang bekerja di kota besar, tapi ingin tetap tinggal di kampung bersama orang tua. 2) Mahasiswa yang kuliah di ibu kota, tapi orang tua tak mampu menyewa kos. [Atau mahasiswa yang baru pertama kali meninggalkan kampung halamannya, kotanya, pulaunya, provinsinya dan belajar di kampung lain, kota lain, pulau lain, provinsi lain. Yang masa liburnya mungkin 5 tahun setelah sukses menamatkan kuliah, itupun kalau kuliahnya lancar dan tidak dibelokkan tujuan awal kuliah dengan menjadi Pak Ogah yang mengatur lalu lintas sembali menyorong tangan meminta lembaran dua ribuan]. 3) Tenaga kesehatan, guru, atau pegawai negeri yang ditempatkan di daerah terpencil. 4) Pengusaha kecil yang bolak-balik membawa barang dagangan.
Mereka semua punya satu kesamaan: hidup terbagi. Antara tempat kerja dan rumah. Antara impian dan akar. Antara masa depan dan keluarga.
Setiap kali naik bus, mereka tidak hanya membawa tas. Mereka membawa beban emosional. Rindu pada anak yang belum sempat diajak main. Rasa bersalah karena tidak bisa hadir di acara keluarga. Kelelahan fisik yang menumpuk. Tapi juga harapan: gaji yang cukup, pekerjaan yang stabil, masa depan yang lebih baik.