Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Merdeka dari Kran: Saat Hujan Mengalir, Yogyakarta Belajar Minum dari Langit

19 Agustus 2025   19:54 Diperbarui: 19 Agustus 2025   19:54 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Merdeka dari Kran: Saat Hujan Mengalir, Yogyakarta Belajar Minum dari Langit

Sejak pukul 11 siang tadi, langit Yogyakarta tiba-tiba menangis deras dan lama hingga sore ini. Bukan tangisan muram, tapi guyuran deras yang membawa kelegaan hingga ke jalanan berupa sampah yang berserakan. Hujan turun dengan gembira, membasahi tanah yang selama beberapa pekan terakhir mulai retak di sana-sini. Jalanan yang biasanya dipenuhi debu kini berkilauan, dan udara yang semula gerah perlahan berubah menjadi segar. Di bawah rintik yang tak kunjung reda, saya teringat satu kalimat dari seorang petani di lereng Merapi: "Hujan itu bukan cuma air, itu berkah yang jatuh dari langit. Sayang kalau cuma dibiarkan mengalir ke selokan."

Ya, hujan hari ini bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah panggilan. Panggilan bagi kita, warga kota, untuk kembali merenung: sudah seberapa jauh kita memperlakukan air sebagai sesuatu yang murah, yang tinggal dibuka kran-nya, tanpa peduli dari mana asalnya?

Padahal, setiap tetes hujan yang jatuh di atap rumah, di genteng tanah liat, di atap beton, atau di atap seng yang panas, adalah air bersih yang menunggu untuk disambut. Bukan air yang terkontaminasi, bukan air yang harus dimurnikan dengan listrik dan klorin, bukan air yang dibeli dari perusahaan. Ini adalah air yang datang secara gratis, murni, dan penuh potensi, jika saja kita mau menyambutnya dengan bijak.

Saya teringkat ketika berada di pedalaman Madagascar. Bila hujan tiba-tiba akrab pada bumi, jatuh tiada henti sepanjang hari, maka akan ada drum besar di sudut rumah, tersambung ke talang. Air hujan mengalir deras dari atap, masuk ke dalam drum itu melalui saringan sederhana dari kain kasa. Saya tahu, drum itu bukan sekadar penampung air untuk menyiram tanaman. 

Bagi keluarga-keluarga di sana, drum adalah bentuk kemandirian agar tidak perlu berlelah-lelah pergi mengangkut air di pancuran umum. Bahkan saat musim kemarau datang, mereka tetap bisa menyiram sayuran di pekarangan, mencuci motor, dan bahkan mengisi bak mandi, tanpa harus mengandalkan sumur yang semakin dalam atau PDAM yang kadang tak menentu dan menjadi rebutan banyak warga.

Itulah manfaat utama dari panen air hujan: kemandirian. Di tengah krisis air bersih yang semakin nyata, dari menurunnya kualitas air tanah hingga eksploitasi berlebihan terhadap sumber mata air, mengandalkan hujan bukan lagi sekadar ide romantis. Ini adalah solusi praktis, lokal, dan berkelanjutan. 

Di Yogyakarta, yang memiliki curah hujan cukup tinggi (rata-rata 1.800-2.500 mm per tahun), setiap rumah dengan atap seluas 100 m bisa menampung hampir 200.000 liter air hujan per tahun. Bayangkan jika 100 rumah saja melakukan ini, itu setara dengan 20 juta liter air bersih yang bisa digunakan tanpa menyedot satu tetes pun dari bawah tanah.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Tapi manfaatnya tak berhenti di sana. Panen air hujan juga adalah bentuk penghormatan terhadap alam. Saat hujan turun, air tidak langsung mengalir ke selokan, banjir ke jalan, atau membawa polutan ke sungai. Dengan menampungnya, kita memperlambat aliran, mengurangi risiko banjir, dan memberi waktu bagi tanah untuk menyerap kembali air yang hilang. Ini adalah bentuk restorasi ekosistem yang dimulai dari halaman rumah kita sendiri.

Dan yang tak kalah penting: edukasi. Anak-anak yang melihat ayah-ibu mereka memasang talang, membersihkan filter, atau menghitung volume air yang terkumpul, sedang belajar tentang siklus air, tentang tanggung jawab, tentang bagaimana alam bisa menjadi teman, bukan musuh. Di sekolah-sekolah di Sleman dan Bantul, sudah mulai bermunculan proyek "drum air hujan" sebagai bagian dari kurikulum lingkungan. Di sana, anak-anak belajar bahwa air tidak tiba-tiba muncul dari kran, ia punya cerita, punya perjalanan, punya nilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun