Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Misa Syukur ala Tambangrejo

19 Agustus 2025   06:07 Diperbarui: 19 Agustus 2025   06:07 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Misa Syukur ala Tambangrejo

Setiap 17 Agustus, warga Desa Tambangrejo berkumpul di Gereja Santa Profitus untuk "Misa Syukur". Tapi semua tahu: acara ini sebenarnya lelang bagi hasil tambang antara pengusaha lokal dan asing. Pastor Mangun, yang jam tangannya lebih mahal dari gaji lurah, berdiri di depan altar sambil memegang kuitansi bertuliskan "Royalti Tambang Blok A".

"Selamat pagi, umat yang terkasih!" sapa Pastor Mangun. "Hari ini kita syukuri berkat Tuhan: emas, tembaga, dan batubara yang dikelola asing. Mari kita bagi rata!"

Bu Rina, mantan lurah yang kini jadi pengusaha, langsung angkat tangan: "Saya tawar 3% untuk desa! Plus sumbangan sound system biar misa lebih meriah!"
Tuan Lim, bos Kelompok Lintah Darat, tak mau kalah: "Saya 2,5%! Plus beras kadaluarsa buat bazaar gereja. Nanti saya tempel stiker 'Terima Kasih Freeport' di karungnya!"

Pak Tani, petani yang sawahnya digusur tambang nikel, protes: "Kami cuma dapet 2,5%? Truk nikel lewat tiap jam!"
Pastor Mangun tersenyum diplomatis: "Itu berkat, Pak. 2,5% sudah termasuk biaya administrasi, fee saya, dan donasi buat renovasi gereja. Lho, gak mau syukur?"

Dito, anak Pak Tani, nyeletuk: "Kalau tambangnya milik asing, kenapa kita lelang?"
Bu Rina tertawa sambil live di HP-nya: "Biarkan kalian sadarnya pelan-pelan: kalian kaya, tapi uangnya lari ke Swiss kayak air hujan di musim kemarau!"

Acara ditutup dengan pembagian kue lapis berlogo tambang. Warga pulang dengan perut kenyang kue, kantong kosong. Esoknya, Dito bertanya: "Besok 18 Agustus, kita lelang apa lagi?"
Pak Tani menghela napas: "Kali ini lelang utang, Nak. Biar tambangnya makin kaya, kita makin... berhutang."

Fakta di Balik Tawa:
Bagian desa dari hasil tambang cuma 3-4%. Sisanya dibawa pengusaha asing dan oknum yang berjubah malaikat. Sementara warga hanya dapat janji, beras kadaluarsa, dan kue lapis berlogo perusahaan.

Catatan: Kalau ada yang tersinggung, mungkin karena kue lapisnya sudah basi... atau karena utangnya belum lunas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun