"Ini simbol kepercayaan,"Â kata Hasya Maisarah (XI KP 3), "bahwa di tengah perbedaan, kita bisa menemukan keharmonisan." Di momen itulah, mereka menyadari: kunjungan ini bukan sekadar industrial tour, tapi wisata jiwa yang mengajarkan toleransi, keberanian, dan cinta pada keragaman.
Sementara Nouval Septian (XI KP 1) yang selama perjalanan duduk di samping penulis mengungkapkan rasa kagumnya atas budaya Bali yang terjaga rapi dan lestari, "Bali selalu unik, guide lokalnya sangat familiar dan menguasai budaya dengan baik. Kita dapat langsung dari sumber terpercaya." Siswa yang pembawaannya sangat kalem ini amat menikmati perjalanan ini meski sempat diragukan ketahanan fisiknya.
Lima hari mungkin singkat, tapi jejaknya abadi. Seperti ombak yang terus mengikis batu, pengalaman ini mengukir kesadaran baru: bahwa menjadi tenaga kesehatan adalah merangkul ilmu dengan akal, merawat pasien dengan hati, dan menghargai kekayaan Indonesia dengan jiwa. Ketika bus kembali ke Sleman, mereka tak hanya membawa oleh-oleh khas Bali, tapi juga benih kesadaran bahwa di setiap sudut negeri ini, ada pelajaran yang menunggu untuk dihayati.
Semoga di masa depan, langkah mereka tak berhenti di Bali. Di Sumatera, Kalimantan, atau Papua, ada lagi kisah yang menanti: tentang tanah air yang tak pernah berhenti mengajar, dan generasi muda yang siap meneruskan obor persatuan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI