Jejak Kesehatan di Antara Pura dan Lautan: Catatan Perjalanan Siswa SMK Binatama yang Menyatu dengan Jiwa Indonesia
"Mereka belajar obat di kelas, tapi di Bali, mereka belajar merawat manusia. Dari pura ke pabrik herbal, dari ombak Jimbaran ke ular suci Tanah Lot: inilah perjalanan yang mengubah cara mereka memandang kesehatan, budaya, dan Indonesia."Â
Matahari pagi 12 Agustus 2025 menyaksikan langkah ringan ratusan siswa kelas XI SMK Kesehatan Binatama Sleman memasuki RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Di sana, ruang farmasi bukan lagi gambaran di buku pelajaran, melainkan denyut nadi kehidupan yang riil: apoteker meracik obat dengan presisi, perawat merangkul pasien dengan senyum yang tulus. "Ini seperti melihat teori 'hidup',"Â bisik seorang siswa farmasi sambil mengamati label resep yang berjejer rapi.
Waktu mungkin singkat, tapi di setiap sudut ruangan, mereka menemukan benang merah antara kelas dan kenyataan, bahwa kesehatan adalah ilmu yang diukir oleh tangan, dipanaskan oleh empati, dan disucikan oleh tanggung jawab.
Perjalanan berlanjut ke Bali, menyusuri jalan raya yang membelah Jawa Timur hingga deru kapal feri di Selat Bali. Di tengah kabut subuh 13 Agustus, ketika roda bus tiba di Pulau Seribu Pura, fajar menyambut mereka dengan aroma kemenyan dari pura-pura kecil di tepi jalan.
Di PT Varash Indonesia Maju, Hanna Nasrulia (XI KP 3) menulis tentang daun-daun herbal yang diubah menjadi obat dengan cinta, "Bisnis, budaya, dan alam tak boleh bercerai,"Â tulisnya, menyadari bahwa industri kesehatan bukan sekadar profit, tapi juga penghormatan pada bumi. "Kunjungan ini tidak hanya menambah pengetahuan kami tentang dunia industri herbal, tetapi juga membuka pandangan baru mengenai pentingnya menjaga keseimbangan antara bisnis, budaya, dan lingkungan,"Â lanjut Hana.
Sementara di UD Lulur Sekar Jagat, Dhyana Meilany Nugraheni (XI KP 3) tersenyum lebar usai mencoba lulur gratis: "Kami tak hanya belajar standar produksi, tapi juga filosofi Bali: merawat tubuh adalah ibadah."Â
"Menariknya," lanjut Meilany, "kami juga mendapat kesempatan mencoba lulur gratis sehingga bisa merasakan manfaat produk secara langsung. Kunjungan ini tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga memotivasi kami untuk lebih disiplin dan siap menghadapi dunia kerja di bidang kesehatan maupun industri."
Budaya dan ilmu menyatu dalam setiap langkah. Di Batu Bulan, tarian Barong mengajarkan pertarungan kebaikan dan kejahatan, metafora sempurna untuk profesi kesehatan yang harus selalu berpihak pada kehidupan.
Di Pantai Jimbaran, makan malam di atas pasir diiringi gitar akustik dan tawa siswa yang menari di bawah bintang, Clara Anjany Matwan (XI KP 1) merefleksikan: "Di sini, kami paham bahwa tenaga kesehatan harus punya jiwa, bukan hanya tangan yang terampil, tapi hati yang peka."
Hari terakhir di Tanah Lot menjadi puncak perenungan. Saat ombak menghantam karang, beberapa siswa berani mengelus ular suci, meminum air tawar yang mengalir di tengah laut asin yang berada di bawah pura.
"Ini simbol kepercayaan,"Â kata Hasya Maisarah (XI KP 3), "bahwa di tengah perbedaan, kita bisa menemukan keharmonisan." Di momen itulah, mereka menyadari: kunjungan ini bukan sekadar industrial tour, tapi wisata jiwa yang mengajarkan toleransi, keberanian, dan cinta pada keragaman.
Sementara Nouval Septian (XI KP 1) yang selama perjalanan duduk di samping penulis mengungkapkan rasa kagumnya atas budaya Bali yang terjaga rapi dan lestari, "Bali selalu unik, guide lokalnya sangat familiar dan menguasai budaya dengan baik. Kita dapat langsung dari sumber terpercaya." Siswa yang pembawaannya sangat kalem ini amat menikmati perjalanan ini meski sempat diragukan ketahanan fisiknya.
Lima hari mungkin singkat, tapi jejaknya abadi. Seperti ombak yang terus mengikis batu, pengalaman ini mengukir kesadaran baru: bahwa menjadi tenaga kesehatan adalah merangkul ilmu dengan akal, merawat pasien dengan hati, dan menghargai kekayaan Indonesia dengan jiwa. Ketika bus kembali ke Sleman, mereka tak hanya membawa oleh-oleh khas Bali, tapi juga benih kesadaran bahwa di setiap sudut negeri ini, ada pelajaran yang menunggu untuk dihayati.
Semoga di masa depan, langkah mereka tak berhenti di Bali. Di Sumatera, Kalimantan, atau Papua, ada lagi kisah yang menanti: tentang tanah air yang tak pernah berhenti mengajar, dan generasi muda yang siap meneruskan obor persatuan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI