Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kemerdekaan yang Dibagi: Ketika Rakyat Tersisih Menonton Pesta Para Penguasa

17 Agustus 2025   21:59 Diperbarui: 17 Agustus 2025   21:59 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Kemerdekaan yang Dibagi: Ketika Rakyat Tersisih Menonton Pesta Para Penguasa

Refleksi dari Mata yang Lapar, Hati yang Lelah, dan Jiwa yang Tak Pernah Dianggap

Di pinggir jalan, di warung tenda yang atapnya bocor saat hujan, di rumah petak yang dindingnya tipis seperti kertas, saya (kami) rakyat kecil, duduk. Kita duduk dengan nasi sepiring, lauk sambal dan ikan asin, sambil menonton layar televisi yang gambar-gambarnya kadang pecah karena sinyal lemah. Di layar itu, mereka (para pejabat) tersenyum, berpidato, berjabat tangan, makan di meja panjang dengan piring berlapis emas, daging wagyu, sayur organik, dan anggur mahal. Mereka merayakan kemerdekaan. Kami? Kami hanya menonton. Dan bertanya: kemerdekaan siapa yang sedang dirayakan?

Delapan puluh tahun. Delapan dekade sejak bendera merah putih dikibarkan pertama kali. Delapan puluh tahun janji: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Tapi yang saya lihat hari ini bukan keadilan. Yang saya lihat adalah ketimpangan yang semakin dalam, seperti jurang yang digali setiap hari oleh tangan-tangan yang tak pernah lelah menggenggam kekuasaan.

Kami, rakyat kecil, adalah yang memberi makan mereka. Dari pagi hingga malam, kami bekerja: penjual gorengan, ojek online, buruh pabrik, petani, nelayan, pedagang asongan, kami mengais rezeki dengan keringat, dengan luka di tangan, dengan paru-paru yang sesak karena polusi. Dan dari setiap rupiah yang kami hasilkan, kami memberi. Lewat pajak rokok, pajak listrik, pajak parkir, pajak warung, pajak yang tak pernah kami minta rincian penggunaannya. Kami bayar, karena negara bilang itu kewajiban. Tapi apakah mereka (para pejabat) merasa itu hak kami juga? Hak untuk makan yang cukup, untuk berobat tanpa utang, untuk anak-anak kami sekolah tanpa ditolak karena tak mampu bayar SPP?

Tidak. Mereka makan kenyang, kami yang membayar. Mereka naik jet pribadi, kami yang menyubsidi. Mereka tinggal di rumah mewah, kami yang dipindahkan dari tanah leluhur demi proyek yang tak pernah kami rasakan manfaatnya. Mereka punya puluhan jabatan, gaji fantastis, tunjangan yang tak habis dihitung, sementara kami? Kami hanya punya satu nyawa, satu harapan: agar besok masih ada nasi di rumah.

Kemerdekaan yang Dicuri Pelan-Pelan

Kemerdekaan bukan hanya soal lepas dari penjajah Belanda atau Jepang. Kemerdekaan yang hakiki adalah ketika rakyat bisa bernapas tanpa takut, takut tidak makan, takut sakit, takut anak tidak sekolah, takut ditangkap karena protes. Tapi hari ini, kemerdekaan itu terasa seperti ilusi. Kami merdeka, tapi terbelenggu oleh kemiskinan. Kami merdeka, tapi terpenjara oleh sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Saya pernah bertanya pada anak saya, "Kalau besar nanti, kamu mau jadi apa?" Ia menjawab, "Pegawai negeri, Bu. Biar dapat gaji tiap bulan, bisa makan." Saya menangis diam-diam. Bukan karena bermimpi rendah, tapi karena anak saya sudah belajar sejak kecil bahwa hidup ini bukan soal mimpi besar, tapi soal bertahan hidup. Dan satu-satunya jalan keluar yang dia lihat adalah menjadi bagian dari mesin itu, mesin yang sebenarnya memakan kami.

Padahal, dulu, para pendiri bangsa bermimpi lain. Soekarno berkata, "Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Tapi hari ini, yang kami lihat bukan pemuda yang diguncangkan oleh mimpi, tapi yang diguncangkan oleh harga sembako yang naik, oleh biaya sekolah yang tak terjangkau, oleh beban hidup yang terlalu berat untuk usia muda.

(olahan GemAIBot,dokpri)
(olahan GemAIBot,dokpri)

Pesta di Istana, Lapar di Kampung

Setiap 17 Agustus, mereka mengadakan upacara megah. Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dikumandangkan, pidato dibacakan dengan suara penuh semangat. Tapi semangat itu tidak sampai ke kampung kami. Yang sampai hanya rekamannya, di TV, di radio, di media sosial. Kami mendengar kata-kata "kesejahteraan", "kemajuan", "kemandirian", tapi yang kami rasakan adalah kenaikan harga, penggusuran paksa, dan janji yang terus ditunda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun