Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cahaya yang Tak Pernah Redup: Surat Cinta untuk Guru yang Dikatakan "Beban"

12 Agustus 2025   04:39 Diperbarui: 12 Agustus 2025   04:46 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(guru, cahaya yang tak pernah redup, olahan GemAIBot, dokpri)

Cahaya yang Tak Pernah Redup: Surat Cinta untuk Guru yang Dikatakan 'Beban' Tapi Tetap Menjaga Nyala Negeri 

 

Di pagi yang bermandikan cahaya,
Kami sampaikan penghormatan untukmu:
Guru dan dosen, pahlawan bangsa,
Meski disebut "beban", kau tetap setia.

Gaji yang kecil, beban yang besar,
Namun tekadmu tak pernah surut.
Menjaga lentera ilmu tetap terang,
Menerangi jalan masa depan generasi.

Jika bukan kita yang melayani,
Anak-anak Ibu Pertiwi yang rindu ilmu?
Siapa lagi yang akan berdiri,
Di garda terdepan membangun negeri?

Teruslah mengabdi, jangan lelah,
Negeri ini berhutang budi padamu.
Dalam diam, kau ukir sejarah,
Dengan tinta emas pengabdianmu.

(demo honorer, sumber: jpnn)
(demo honorer, sumber: jpnn)

Menghargai Guru di Tengah Tantangan Kebijakan Fiskal

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut guru dan dosen sebagai "beban negara" dalam konteks pembahasan anggaran perlu dilihat secara kritis. Pernyataan ini muncul dalam pidato yang disampaikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB), Sri Mulyani menyoroti rendahnya gaji guru dan dosen di Indonesia, hal itu juga dianggapnya jadi tantangan pengelolaan keuangan negara pada 9 Agustus 2025. Pernyataan ibu menteri seakan mau melepas tanggung jawab bahwa gaji guru bukan hanya semata tugas negara, tetapi urusan swasta juga. Bukankah selama ini begitu?

Diksi "beban" dinilai tidak tepat karena mengabaikan fakta bahwa guru adalah tulang punggung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bidang pendidikan. Alih-alih dipandang sebagai beban, guru seharusnya ditempatkan sebagai aset strategis yang berkontribusi pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Narasi ini justru berpotensi melemahkan semangat pengabdian guru yang selama ini bekerja dengan keterbatasan.

Realitas kesejahteraan guru di Indonesia masih jauh dari ideal. Data Kementerian Pendidikan 2023 menunjukkan 60% guru honorer menerima penghasilan di bawah UMR, bahkan di beberapa daerah hanya Rp300.000-Rp500.000 per bulan. Sementara guru PNS kerap mengeluhkan keterlambatan tunjangan profesi hingga berbulan-bulan akibat integrasi data yang kacau.

Di sisi lain, beban kerja mereka semakin kompleks: mulai dari administrasi berlapis hingga tuntutan inovasi metode mengajar pasca-pandemi. Ironisnya, meski anggaran pendidikan mencapai 20% dari APBN (sekitar Rp674 triliun pada 2024), alokasinya masih timpang, hanya 3% untuk peningkatan kesejahteraan guru, sisanya untuk infrastruktur dan biaya operasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun