Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[serinostalgia] Mahazoarivo: Jiwa yang Tak Pernah Tidur

9 Agustus 2025   21:45 Diperbarui: 9 Agustus 2025   21:58 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Chat GPT, dokpri)

Mahazoarivo: Jiwa yang Tak Pernah Tidur

Angin malam berdesis di antara dinding batu Mahazoarivo, menggerakkan tirai kain lamba yang sudah usang. Di ruang kerja lantai dua, Perdana Menteri Monja duduk di meja kayu hazofotsy, tangannya gemetar memegang surat ultimatum dari para mahasiswa yang kini memadati Betsimisaraka.

Di luar, suara teriakan "Miala tsy gaga!" (Pergi tanpa pamit!) menggema seperti guntur. Revolusi 1972 telah tiba; dan ia, sebagai PM pertama yang dipilih Raja Merina terakhir sebelum kolonial Prancis runtuh, harus memutuskan: bertahan dan menghadapi kematian, atau menyerah pada gelombang kemarahan rakyat.

Tiba-tiba, lampu minyak padam.

Dari kegelapan, sebuah suara berbisik dalam bahasa Merina kuno:

"Jangan takut pada suara yang berubah. Dengarkan suara yang tak pernah berubah."

Monja menoleh. Di sudut ruangan, bayangan seorang lelaki tua berdiri, tubuhnya tembus pandang, di kepalanya terikat lamba berwarna darah. "Aku Andriamangarira, raja yang pertama membangun Mahazoarivo pada 1820. Tempat ini bukan hanya rumah. Ia adalah vavaka, janji pada bumi."

Asal-Usul Mahazoarivo: Legenda Batu yang Menangis

Menurut mitos yang hanya diketahui oleh para tetua Merina, Mahazoarivo dibangun di atas Batuan Madiova, sebuah batu vulkanik yang konon menangis setiap kali seorang pemimpin melupakan fihavanana (persaudaraan). Saat Raja Andriamangarira mendirikan istana kayu ini, ia menggali fondasi dan menemukan batu itu berlumuran air seperti air mata.

"Jika kau ingin memerintah, kau harus berjanji: setiap pemimpin yang tinggal di sini harus membangun, bukan menghancurkan," bisik suara dari dalam tanah.

Raja itu pun mengukir Tafiditra (sebuah prasasti batu berbentuk akar baobab) di bawah lantai ruang kerja. "Di sini, roh leluhur akan menjaga janji itu. Jika seorang pemimpin lalai, Batuan Madiova akan retak... dan Madagascar akan terpecah."

Sejak itu, setiap Perdana Menteri yang menginjakkan kaki di Mahazoarivo mendengar bisikan yang sama:


"Bangunlah. Bukan untuk dirimu, tapi untuk yang akan datang."

Tahun-Tahun yang Berdarah

1947 - PM Razafindrahety
Di tengah pemberontakan kemerdekaan melawan Prancis, Razafindrahety duduk di bawah pohon ravina di halaman Mahazoarivo, menatap luka peluru di dinding yang ditinggalkan pasukan kolonial. Malam itu, ia melihat bayangan perempuan berbaju putih (Rasoherina, Ratu terakhir Merina) berdiri di ambang jendela.

"Mereka ingin menghancurkan rumah ini," kata Rasoherina, tangannya menunjuk ke arah Rova yang terbakar. "Tapi Mahazoarivo harus tetap berdiri. Karena di sinilah benih kemerdekaan tumbuh."

Esok pagi, Razafindrahety menandatangani perjanjian rahasia dengan pemimpin pemberontak di bawah Tafiditra, langkah pertama menuju kemerdekaan 1960.

1972 - PM Monja

Kembali ke malam ini. Monja mengikuti bisikan Andriamangarira ke ruang bawah tanah, di mana Tafiditra berdiri di atas Batuan Madiova. Diukir di batu itu, tulisan yang tak pernah ia lihat: 

"Jika rakyat berteriak, dengarkan. Jika mereka marah, belajarlah. Jika mereka hancur, bangunlah dari reruntuhan."

Di luar, massa semakin dekat. Tapi Monja tak lari. Ia naik ke balkon Mahazoarivo, mengangkat tangan: "Aku akan turun. Tapi izinkan aku bicara pada kalian seperti saudara."

Ia bercerita tentang Batuan Madiova, tentang janji leluhur, tentang bagaimana kemerdekaan bukan akhir - tapi awal untuk membangun. Massa diam. Seorang mahasiswa muda maju, matanya berkaca-kaca: "Kami tak ingin menghancurkan. Kami ingin kau mendengar."

Revolution 1972 berakhir tanpa darah. Monja mundur, tapi Mahazoarivo tetap berdiri, simbol bahwa kekuasaan bukan tentang memegang, tapi melepaskan dengan bijak.

2023 - PM Lalao

30 tahun kemudian, Lalao, Perdana Menteri perempuan pertama Madagascar, duduk di ruang yang sama. Di mejanya, laporan korupsi menggunung, utang negara mengancam, dan demonstrasi kembali mengguncang kota. Ia lelah. Malam ini, ia ingin menyerah.

Tiba-tiba, angin memadamkan lampu.

Bayangan Monja muncul, wajahnya berlumuran debu 1972. "Kau pikir ini sulit? Coba rasakan peluru Prancis di punggung."

Lalu bayangan Razafindrahety menyusul, suaranya berat: "Kemerdekaan bukan hadiah. Ia harus dibangun setiap hari."

Dan di sudut, Andriamangarira tersenyum: "Lihatlah Batuan Madiova."

Lalao berlari ke ruang bawah tanah. Batuan itu retak, garis tipis membelah permukaannya. "Jika retak ini bertambah, Madagascar akan terpecah," bisik suara leluhur.

Esok pagi, Lalao mengundang semua pemimpin oposisi ke Mahazoarivo. Di bawah Tafiditra, ia menunjukkan retakan Batuan Madiova. "Ini bukan tentang kita. Ini tentang janji yang kita langgar."

Mereka diam. Seorang pemimpin oposisi (yang dulu menghujatnya di media) menyentuh retakan itu, lalu menangis: "Aku lupa. Kita semua lupa."

Rahasia di Bawah Tafiditra

Beberapa bulan kemudian, saat renovasi Mahazoarivo, pekerja menemukan kotak kayu hazofotsy terkubur di bawah Tafiditra. Di dalamnya, surat Razafindrahety tahun 1947: "Jika suatu hari Madagascar terpecah, carilah di sini. Kunci persatuannya ada pada 12 Suku, bukan pada pemerintah."

Di bawah surat itu, tergulung Peta Suku yang hilang sejak 1896, saat Prancis menghancurkan kerajaan Merina. Peta itu menunjukkan wilayah 18 suku dengan simbol fihavanana di setiap perbatasan, bukti bahwa persatuan Madagascar bukan khayalan, tapi warisan leluhur.

Lalao membagikan peta itu ke seluruh desa. Di Morombe, Fara (dari cerita sebelumnya) mengukirnya di kain lamba. Di Ilakaka, Zafy memahatnya di batu safir. Di Andringitra, Rakoto menyanyikannya dalam hira gasy.

Dan di Mahazoarivo, Batuan Madiova mulai sembuh, retakannya tertutup lumut hijau, seperti luka yang akhirnya diampuni.

(olahan Chat GPT, dokpri)
(olahan Chat GPT, dokpri)

Epilog: Jiwa yang Tak Pernah Tidur

Malam ini, seperti setiap malam, angin berbisik di Mahazoarivo. Di ruang kerja, PM berikutnya (muda, tak berpengalaman, gemetar menghadapi krisis baru) duduk di depan Tafiditra.

Lampu padam.

Bayangan Andriamangarira muncul, diikuti Razafindrahety, Monja, dan Lalao. "Kau tak sendiri," kata mereka serempak. "Kami semua di sini. Karena Mahazoarivo bukan rumah untuk satu orang. Ia adalah rumah untuk Madagascar."

Di luar, suara kota berdenyut, taxi-brousse berderit, anak-anak tertawa, pasar Analakely berteriak. Tapi di dalam, hanya ada satu suara yang abadi: "Bangunlah. Bukan untuk dirimu, tapi untuk yang akan datang."

Dan di bawah lantai, Batuan Madiova berdetak pelan, seperti jantung yang tak pernah berhenti berdoa.

Antananarivo, Madagascar - 1999

Catatan: Mahazoarivo ("Tempat Seribu Janji" dalam bahasa Merina) adalah kediaman resmi Perdana Menteri Madagascar sejak era kolonial. Meski tak banyak sumber sejarah yang mencatat mitosnya, cerita ini terinspirasi dari kepercayaan Malagasi bahwa tempat-tempat bersejarah menyimpan fanahy (jiwa) leluhur. Peristiwa Revolusi 1972 memang nyata, saat mahasiswa dan rakyat menuntut reformasi, mengakhiri Republik Pertama tanpa kekerasan berlebihan. Peta Suku yang hilang menjadi metafora untuk upaya menyatukan 18 suku di Madagascar, yang hingga kini masih menjadi tantangan utama negara ini. Di Mahazoarivo, setiap PM yang datang membawa luka zamannya, tapi janji yang sama: membangun, bukan menghancurkan.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun