Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[serinostalgia] Mahazoarivo: Jiwa yang Tak Pernah Tidur

9 Agustus 2025   21:45 Diperbarui: 9 Agustus 2025   21:58 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Esok pagi, Razafindrahety menandatangani perjanjian rahasia dengan pemimpin pemberontak di bawah Tafiditra, langkah pertama menuju kemerdekaan 1960.

1972 - PM Monja

Kembali ke malam ini. Monja mengikuti bisikan Andriamangarira ke ruang bawah tanah, di mana Tafiditra berdiri di atas Batuan Madiova. Diukir di batu itu, tulisan yang tak pernah ia lihat: 

"Jika rakyat berteriak, dengarkan. Jika mereka marah, belajarlah. Jika mereka hancur, bangunlah dari reruntuhan."

Di luar, massa semakin dekat. Tapi Monja tak lari. Ia naik ke balkon Mahazoarivo, mengangkat tangan: "Aku akan turun. Tapi izinkan aku bicara pada kalian seperti saudara."

Ia bercerita tentang Batuan Madiova, tentang janji leluhur, tentang bagaimana kemerdekaan bukan akhir - tapi awal untuk membangun. Massa diam. Seorang mahasiswa muda maju, matanya berkaca-kaca: "Kami tak ingin menghancurkan. Kami ingin kau mendengar."

Revolution 1972 berakhir tanpa darah. Monja mundur, tapi Mahazoarivo tetap berdiri, simbol bahwa kekuasaan bukan tentang memegang, tapi melepaskan dengan bijak.

2023 - PM Lalao

30 tahun kemudian, Lalao, Perdana Menteri perempuan pertama Madagascar, duduk di ruang yang sama. Di mejanya, laporan korupsi menggunung, utang negara mengancam, dan demonstrasi kembali mengguncang kota. Ia lelah. Malam ini, ia ingin menyerah.

Tiba-tiba, angin memadamkan lampu.

Bayangan Monja muncul, wajahnya berlumuran debu 1972. "Kau pikir ini sulit? Coba rasakan peluru Prancis di punggung."

Lalu bayangan Razafindrahety menyusul, suaranya berat: "Kemerdekaan bukan hadiah. Ia harus dibangun setiap hari."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun