Mahazoarivo: Jiwa yang Tak Pernah Tidur
Angin malam berdesis di antara dinding batu Mahazoarivo, menggerakkan tirai kain lamba yang sudah usang. Di ruang kerja lantai dua, Perdana Menteri Monja duduk di meja kayu hazofotsy, tangannya gemetar memegang surat ultimatum dari para mahasiswa yang kini memadati Betsimisaraka.
Di luar, suara teriakan "Miala tsy gaga!" (Pergi tanpa pamit!) menggema seperti guntur. Revolusi 1972 telah tiba; dan ia, sebagai PM pertama yang dipilih Raja Merina terakhir sebelum kolonial Prancis runtuh, harus memutuskan: bertahan dan menghadapi kematian, atau menyerah pada gelombang kemarahan rakyat.
Tiba-tiba, lampu minyak padam.
Dari kegelapan, sebuah suara berbisik dalam bahasa Merina kuno:
"Jangan takut pada suara yang berubah. Dengarkan suara yang tak pernah berubah."
Monja menoleh. Di sudut ruangan, bayangan seorang lelaki tua berdiri, tubuhnya tembus pandang, di kepalanya terikat lamba berwarna darah. "Aku Andriamangarira, raja yang pertama membangun Mahazoarivo pada 1820. Tempat ini bukan hanya rumah. Ia adalah vavaka, janji pada bumi."
Asal-Usul Mahazoarivo: Legenda Batu yang Menangis
Menurut mitos yang hanya diketahui oleh para tetua Merina, Mahazoarivo dibangun di atas Batuan Madiova, sebuah batu vulkanik yang konon menangis setiap kali seorang pemimpin melupakan fihavanana (persaudaraan). Saat Raja Andriamangarira mendirikan istana kayu ini, ia menggali fondasi dan menemukan batu itu berlumuran air seperti air mata.
"Jika kau ingin memerintah, kau harus berjanji: setiap pemimpin yang tinggal di sini harus membangun, bukan menghancurkan,"Â bisik suara dari dalam tanah.
Raja itu pun mengukir Tafiditra (sebuah prasasti batu berbentuk akar baobab) di bawah lantai ruang kerja. "Di sini, roh leluhur akan menjaga janji itu. Jika seorang pemimpin lalai, Batuan Madiova akan retak... dan Madagascar akan terpecah."
Sejak itu, setiap Perdana Menteri yang menginjakkan kaki di Mahazoarivo mendengar bisikan yang sama:
"Bangunlah. Bukan untuk dirimu, tapi untuk yang akan datang."
Tahun-Tahun yang Berdarah
1947 - PM Razafindrahety
Di tengah pemberontakan kemerdekaan melawan Prancis, Razafindrahety duduk di bawah pohon ravina di halaman Mahazoarivo, menatap luka peluru di dinding yang ditinggalkan pasukan kolonial. Malam itu, ia melihat bayangan perempuan berbaju putih (Rasoherina, Ratu terakhir Merina) berdiri di ambang jendela.
"Mereka ingin menghancurkan rumah ini," kata Rasoherina, tangannya menunjuk ke arah Rova yang terbakar. "Tapi Mahazoarivo harus tetap berdiri. Karena di sinilah benih kemerdekaan tumbuh."