Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[1] Pengeluaran Rutin yang Disepelekan

8 Agustus 2025   06:03 Diperbarui: 9 Agustus 2025   06:46 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Di Yogyakarta, moda transportasi umum seperti transjogja seperti kurang diminati. Sepeda motor dan mobil pribadi makin memenuhi jalanan. Bikin macet. Itu juga yang bikin boros bahan bakar. 

Ironisnya, banyak orang yang sebenarnya ingin beralih ke transportasi umum, tapi terhalang oleh kenyamanan dan keamanan. "Kalau naik KRL, jam 5 pagi sudah harus berangkat. Kalau telat 5 menit, ketinggalan kereta. Kalau hujan, basah. Kalau macet di stasiun, capek," keluh Rina, karyawan bank di Bogor.

Masa Depan Transportasi: Listrik, Digital, dan Ramah Lingkungan

Tapi ada harapan. Kendaraan listrik mulai masuk ke pasar. Pemerintah memberi insentif pajak hingga 3% untuk motor dan mobil listrik. Harga baterai turun, dan stasiun pengisian mulai bermunculan.

Gojek dan Grab juga mulai uji coba armada listrik. Di Vietnam, Xanh SM (milik Grab) sudah punya ribuan motor listrik. Di Indonesia, uji coba serupa sedang berjalan di Jakarta dan Bali.

Di masa depan, bisa jadi kita tidak lagi bertanya "berapa ongkos Gojek hari ini?", tapi "berapa kWh yang terpakai hari ini?". Dan mungkin, dengan digitalisasi dan integrasi moda, satu aplikasi bisa mengatur seluruh perjalanan kita, dari rumah ke kantor, tanpa perlu buka tiga aplikasi berbeda.

Refleksi: Apakah Perjalanan Kita Masih Sebanding dengan Hasilnya?

Transportasi bukan sekadar ongkos. Ini soal waktu, kesehatan, kualitas hidup, dan keadilan. Bagi sebagian orang, dua jam di jalan adalah beban. Bagi yang lain, itu waktu untuk mendengarkan podcast, menyiapkan mental, atau sekadar tidur.

Tapi pertanyaan besar tetap ada: apakah sistem transportasi kita sudah adil? Apakah orang dengan gaji UMR harus menghabiskan seperempat gajinya hanya untuk bolak-balik kerja? Apakah kita harus memilih antara hidup dekat kantor (mahal) atau jauh (melelahkan)?

Mungkin, solusinya bukan hanya pada diri kita, tapi pada sistem. Kota yang lebih inklusif, perumahan terjangkau dekat pusat kerja, transportasi umum yang nyaman, dan kebijakan yang mendukung mobilitas berkelanjutan.

Akhir Kata: Mari Hitung dan Refleksikan

Jadi, berapa ongkos pulang-pergi kerjamu setiap hari?

Apakah kamu termasuk yang menghabiskan Rp500 ribu, Rp700 ribu, atau bahkan lebih dari Rp1 juta per bulan? Apakah kamu sudah mencoba strategi hemat? Atau justru merasa terjebak karena tidak ada pilihan?

Mari kita mulai menghitung. Karena ketika kita tahu persis berapa yang kita bayar untuk pergi bekerja, kita bisa mulai meminta yang lebih baik: kota yang lebih manusiawi, sistem yang lebih adil, dan hidup yang lebih seimbang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun