Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[1] Pengeluaran Rutin yang Disepelekan

8 Agustus 2025   06:03 Diperbarui: 9 Agustus 2025   06:46 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Banyak yang akhirnya memilih kombinasi: motor ke stasiun, lalu kereta ke kantor. Tapi bukan tanpa tantangan. Stasiun penuh, kereta delay, dan fasilitas yang kurang ramah pejalan kaki membuat banyak orang memilih tetap naik motor.

Apakah Transportasi Bisa Memakan Sepertiga Gaji?

Pertanyaan ini bukan hiperbola. Untuk sebagian orang, iya, benar-benar bisa.

Ambil contoh gaji UMR Jakarta 2025: sekitar Rp5,2 juta. Jika ongkos transportasi mencapai Rp500.000-Rp700.000 per bulan, itu berarti 9,6%-13,5% dari gaji langsung menguap di jalan. Belum termasuk konsumsi, makan siang, atau kebutuhan darurat. Kalau ditambah dengan biaya makan dan pulsa, bisa mudah menyentuh 20-25%. Dan untuk yang tinggal jauh dari kantor, angka itu bisa lebih tinggi.

Seorang teman di Bekasi yang kerja di Sudirman mengaku menghabiskan hampir Rp1 juta per bulan: Rp300.000 untuk bensin, Rp400.000 untuk tol, dan Rp300.000 untuk parkir. Itu 19% dari gajinya. Dan dia masih termasuk "beruntung" karena bisa pakai mobil, banyak yang tidak punya pilihan selain motor, yang justru lebih berisiko dan melelahkan.

Strategi Menghemat: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Lalu, apa solusinya? Beberapa orang mulai mencoba pendekatan kreatif: Pertama, Carpooling. Berbagi mobil dengan rekan kerja. Satu mobil, empat orang, ongkos tol dan bensin dibagi empat. Bisa hemat hingga 70%.

Kedua, Kereta + Ojek Terakhir. Naik KRL dari Depok ke Jakarta, lalu Gojek 2 km ke kantor. Biayanya jauh lebih murah daripada naik motor sepanjang jalan.

Ketiga, Bersepeda. Di kota-kota seperti Yogyakarta dan Bandung, tren bersepeda makin naik. Tidak hanya hemat, tapi juga sehat. Bahkan ada kantor yang memberi insentif bagi karyawan yang datang naik sepeda.

Keempat, Work From Home (WFH). Meski tidak semua profesi bisa, WFH dua hari seminggu bisa menghemat hingga 40% biaya transportasi. Banyak yang memilih pindah ke kota kecil atau pinggiran demi bisa WFH lebih sering.

Beberapa perusahaan juga mulai sadar. Ada yang memberi subsidi transportasi, voucher Gojek bulanan, atau bahkan shuttle bus khusus karyawan. Tapi itu masih jauh dari merata.

Infrastruktur vs Kebiasaan: Siapa yang Harus Berubah?

Masalah transportasi bukan cuma soal uang. Ini juga soal infrastruktur. Di Jakarta, meski sudah ada MRT dan LRT, konektivitas antar moda masih buruk. Stasiun MRT jauh dari halte Transjakarta, jalur pejalan kaki terputus, dan trotoar sering dipakai parkir liar.

Di Surabaya, bus listrik sudah mulai beroperasi dengan biaya operasional 5% lebih murah dari bus konvensional. Di Yogyakarta, ada program bike sharing. Tapi tanpa dukungan kebijakan yang kuat (seperti insentif bagi pengguna transportasi umum atau pengetatan regulasi kendaraan pribadi) perubahan akan sangat lambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun