Aku mengunyah kentang hangat itu, rasanya gurih dengan sentuhan garam kasar. Rabe tiba-tiba berdiri, mengeluarkan koin dari kantong jas wolnya, dan meletakkannya di meja. "Misaotra, zanaka. Ini untukmu."
"Ahoana no antony?" (Mengapa?) tanyaku kaget.
Ia tersenyum, menepuk pundakku. "Bahasa adalah jembatan. Jika kau menghargai tanah kami dengan berbicara seperti anak kami, kami akan memberimu aina, jiwa kami."
Sebelum pergi, Rabe memberiku bungkusan daun pisang berisi kentang rebus dan sepotong mofo gasy. "Bawa ini untuk perjalanan. Di Fianarantsoa nanti, katakan pada siapa pun: Antsirabe dia toerana misy fihavanana sy vy frit, Antsirabe adalah tempat persaudaraan dan kentang goreng."
Saat bis taxi-brousse kembali melaju, aku menatap kota yang perlahan menghilang di balik kabut. Di tanganku, bungkusan kentang masih hangat, sementara di telinga, bisikan Rabe bergema:Â "Bahasa bukan hanya kata. Ia adalah cara kita mengatakan: Aku melihatmu. Aku menghargaimu."
Sekarang aku kembali ke Antsirabe. Kota itu masih dingin, tapi kini jalannya diaspal, warung-warung kayu diganti kafe dengan WiFi. Di sebuah restoran mewah, aku memesan "pomme de terre frit"Â dengan suara mantap. Pelayan muda tersenyum, lalu berbisik: "Anda bicara seperti kakek Rabe."
Aku terdiam. Di meja sebelah, seorang bocah bermain dengan kentang goreng sambil menyebut-nyebut "vy frit" dalam bahasa Malagasi. Aku tersenyum, meletakkan koin di meja, persis seperti yang Rabe lakukan dulu.
"Ini untukmu,"Â kataku, meniru gerakannya 26 tahun silam. "Bahasa adalah jembatan."
Angin pegunungan berhembus, membawa aroma kentang goreng dan kenangan. Di Antsirabe, kota yang lahir dari dinginnya tanah dan hangatnya manusia, fihavanana tak pernah lekang oleh waktu.
Â
Antsirabe, Madagascar -- Medio November 1998