Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

[serinostalgia] SAFIR BIRU untuk LALAO

2 Agustus 2025   18:20 Diperbarui: 2 Agustus 2025   18:20 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: madagascartripsandpics)

Aron terdiam. Keesokan harinya, ia pergi ke pasar gelap Ilakaka dan menukar semua safirnya dengan sebidang tanah di lereng bukit, tanah yang belum terjamah mesin. Ia menggali sendiri dengan tangan, menanam padi dan ubi, lalu mengajak Lalao menikah di bawah pohon ravina yang tersisa. Sebagai mahar, ia tak memberi safir, tapi selembar lamba berwarna biru tua, dihias benang emas yang ia beli dari pedagang Bangladesh. "Ini bukan safir," katanya. "Ini janji: aku akan menjaga tanah ini, bukan menggali."

Perkawinan mereka menjadi buah bibir. Para penambang Thailand mencibir: "Aron gila! Safir adalah emas Ilakaka!" Tapi Lalao tersenyum. Di bawah terpal biru pondok mereka, ia menggantungkan safir pertama yang diberikan Aron, bukan sebagai hiasan, tapi sebagai pengingat: cinta sejati tak pernah diukur dengan kilau batu.

Tahun 1999, ketika Ilakaka mencapai puncak kejayaan, dengan bar, kasino darat, dan jalanan berlapis debu safir, Lalao dan Aron malah pergi. Mereka meninggalkan kota yang kini dipenuhi konflik antarpenambang, sungai yang berubah menjadi lumpur biru, dan hutan yang gundul. Sebelum berangkat, Lalao menguburkan sebutir safir di bawah pohon ravina: "Jika suatu hari tanah ini sembuh, biarkan batu ini menjadi benih."

Sekarang

2023, Lalao kembali ke Ilakaka. Kota yang dulu riuh kini sunyi. Lubang tambang berubah menjadi danau-danau biru pucat, dikelilingi reruntuhan terpal dan mesin berkarat. Di kejauhan, seekor lemur melompat di antara semak-semak, tanda alam mulai pulih. Ia berjalan ke lereng bukit tempat pondoknya dulu, dan di sana, di bawah pohon ravina yang kini rindang, ia menemukan sesuatu: safir yang dikuburkannya 25 tahun lalu, kini tertutup lumut, tapi masih berkilau lembut seperti mata Aron.

Di sampingnya, tergores ukiran kayu yang tak asing: "Tanah tak pernah mati. Ia hanya tidur."

Lalao tersenyum. Di tasnya, lamba biru pemberian Aron (yang kini sudah pudar) masih ia simpan. Ia tak tahu nasib suaminya yang meninggal di Thailand dua tahun lalu, tapi di Ilakaka yang sepi ini, ia yakin: cinta mereka tetap hidup, seperti safir yang lahir dari darah bumi, dan tak pernah benar-benar hilang.

Ilakaka, Madagascar Selatan -- 1998

Catatan: Ilakaka, yang ditemukan kandungan safirnya pada 1998, pernah menjadi kota tambang paling kacau di Madagascar. Ribuan penambang ilegal dari Thailand, Bangladesh, dan Sri Lanka membanjiri daerah ini, menggali tanah dengan tangan hingga menyebabkan erosi parah. Kini, setelah kehabisan safir, Ilakaka perlahan kembali ke kesunyian, dengan danau-danau bekas tambang yang menjadi simbol kerusakan dan harapan pemulihan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun