Rano, Angin, dan Buku yang Tak Pernah Dibaca Orang
Ambohimalaza. Sebuah desa yang terletak di lereng pegunungan tengah Madagaskar. Ada seorang gadis muda bernama Ranomandimby, atau yang biasa dipanggil Rano (baca Ranu). Ia tinggal di rumah kayu beratap rumbia bersama ibunya yang seorang penenun, dan adik laki-lakinya yang masih duduk di sekolah dasar. Listrik hanya menyala dua jam sehari, dan sinyal ponsel adalah kemewahan yang datang dan pergi seperti angin musim hujan.
Di balik kesederhanaannya, Rano punya mimpi yang terlalu besar untuk ukuran desanya.
Ia ingin seperti gadis-gadis kota yang dilihatnya di layar ponsel teman guru: berpakaian rapi, bicara lancar, menulis di blog, kuliah di universitas, berbicara tentang perubahan, tentang hak perempuan, tentang masa depan.
"Bagaimana mungkin aku bisa seperti mereka," gumam Rano suatu malam, duduk di depan rumah dengan lilin kecil di sampingnya, "kalau buku-buku di sekolah saja sudah usang dan robek?"
Tapi Rano tak menyerah. Ia pinjam buku dari gurunya, membaca di bawah sinar rembulan, menulis di buku tulis bekas yang dikumpulkannya dari teman-temannya. Ia mulai menulis cerita pendek, puisi, dan opini tentang kehidupan desa, tentang perempuan yang dipaksa menikah muda, tentang anak-anak yang putus sekolah karena jarak. Ia mengunggahnya di sebuah platform kecil yang bisa diakses lewat hotspot di kantor pos kecamatan, tempat satu-satunya yang punya koneksi stabil.
Bulan demi bulan, Rano menulis.
Tapi tak pernah ada notifikasi yang menggembirakan.
Tak ada label "pilihan", tak ada sorotan, tak ada komentar.
Hanya angka pembaca yang kadang satu, kadang nol.
Sampai suatu hari, ia melihat unggahan seorang gadis dari Antananarivo  (kota besar) yang menulis dengan gaya santai, cepat, dan dalam bahasa campur yang lucu. Dalam hitungan jam, tulisan itu jadi viral. Label "pilihan" muncul. Banyak komentar. Banyak like.
Rano menatap layar ponselnya, lalu menutup mata.
"Aku menulis dari hati, dari pengalaman nyata... tapi tak ada yang peduli. Dia menulis asal, tapi semua menyukai. Apa aku memang tidak cukup baik?"
Ia berhenti menulis selama tiga minggu.
Tidak karena kehabisan ide, tapi karena hatinya terlalu lelah.
Ia mulai meragukan segalanya.
"Mungkin aku memang hanya gadis desa. Tidak pantas bermimpi terlalu tinggi."
Tapi suatu pagi, saat membantu ibunya di pasar desa, seorang perempuan paruh baya mendekatinya.
"Kamu Rano, kan? Anak yang suka menulis?"