Rano mengangguk ragu.
Perempuan itu tersenyum, matanya berkaca-kaca.
"Aku baca tulisanmu tentang ibumu yang bertahan hidup dengan menenun... Aku juga pernah seperti itu. Dulu aku nyaris menyerah, tapi setelah baca tulisanmu, aku merasa... tidak sendiri. Aku kembali menenun. Sekarang aku punya kelompok usaha kecil. Terima kasih, nak."
Rano terdiam.
Ia tak pernah tahu tulisannya dibaca.
Ia tak pernah tahu ada yang tersentuh.
Tapi ternyata, tulisan itu telah menyeberangi pegunungan, menembus kesunyian, dan menyentuh hati seseorang yang bahkan tak pernah ia temui.
Malam itu, Rano kembali duduk di depan rumah. Lilin menyala. Angin malam berbisik. Ia membuka buku tulisnya yang sudah penuh coretan.
Dan ia mulai menulis lagi.
Bukan untuk menjadi viral.
Bukan untuk diakui oleh kota.
Tapi karena ia tahu:
setiap kata yang lahir dari kejujuran punya kekuatan yang tak bisa diukur oleh jumlah pembaca.
Beberapa bulan kemudian, seorang jurnalis dari ibu kota datang ke Ambohimalaza. Ia mencari Rano.
Ternyata, salah satu tulisannya (tentang "Perempuan yang Menenun Harapan") telah dibagikan oleh seorang aktivis perempuan di media sosial, dan mulai menyebar.
"Kamu harus kuliah," kata jurnalis itu. "Kamu punya suara yang penting."
Rano hanya tersenyum.
"Saya tidak menulis agar dikenal. Saya menulis agar didengar. Dan hari ini, saya tahu... saya sudah didengar."
Kini, Rano masih tinggal di Ambohimalaza.
Tapi ia telah membuka "Sudut Baca Rano", tempat anak-anak desa bisa membaca buku dan belajar menulis.
Di dinding sudut baca itu tertulis kalimat sederhana:
"Tulislah, meski hanya satu orang yang membaca. Karena satu orang itu mungkin sedang menunggu kata-katamu untuk tidak menyerah."