Kwik Kian Gie dan Jiwa yang Tak Pernah Diam: Sebuah Penghormatan pada Penjaga Nurani Bangsa
Di tengah hiruk-pikuk kekuasaan yang sering kali membutakan akal sehat, ada satu suara yang tetap lirih, namun tak pernah goyah: suara Kwik Kian Gie. Ia bukan hanya ekonom, bukan hanya menteri, bukan hanya pendiri sekolah bisnis. Ia adalah penjaga nurani, seorang intelektual yang berdiri di garis depan kebenaran, meski harus sendirian.
Kini, di usia 90 tahun, beliau pergi. Tapi seperti kata Om Mezra dalam tulisannya yang menyentuh (https://www.kompasiana.com/merzagamal8924/68880de5ed641553ea5750f2/in-memorian-kwik-kian-gie-ekonom-nurani-yang-tak-tunduk-pada-kekuasaan?), kepergian Kwik bukan akhir. Ia adalah awal dari sebuah pertanyaan yang menggema: siapa yang akan bicara untuk rakyat jika semua ekonom diam demi jabatan?
Om Mezra dan Narasi yang Menghidupkan Jiwa Kwik Kian Gie
Tulisan Om Mezra tentang Kwik Kian Gie bukan sekadar obituari. Ia adalah sebuah refleksi yang penuh empati, kejelian, dan keberanian moral. Dalam narasinya, Om Mezra tidak hanya menggambarkan sosok seorang ekonom, tetapi menangkap jiwa Kwik Kian Gie, sosok yang lembut dalam suara, namun tajam dalam kebenaran.
Dengan gaya yang humanis dan penuh penghargaan, Om Mezra mengajak kita kembali ke masa ketika jargon trickle down effect dan liberalisasi pasar dianggap sebagai jawaban atas segala masalah ekonomi. Di tengah arus besar itu, Kwik Kian Gie justru berdiri tegak, bukan sebagai penentang yang emosional, tetapi sebagai penanya yang tak pernah puas. Ia bertanya: siapa yang diuntungkan? Siapa yang dikorbankan? Dan ke mana arah negeri ini?
Om Mezra berhasil menangkap esensi itu: bahwa Kwik bukan sekadar menolak utang luar negeri atau kritik terhadap IMF, tetapi ia menolak ketergantungan. Bukan hanya pada modal asing, tapi pada kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat. Dalam tulisannya, Om Mezra tidak hanya mengenang, ia menghidupkan kembali semangat Kwik, mengingatkan kita bahwa ekonomi bukan soal angka, tapi soal keadilan.
Seorang Pemikir yang Berdiri di Sisi Rakyat
Lahir di Juwana, Pati, pada 11 Januari 1935, Kwik Kian Gie bukan berasal dari lingkaran elit. Ia belajar ekonomi di Belanda, tapi hatinya tetap di tanah air. Ia bukan akademisi yang terjebak dalam menara gading, bukan birokrat yang takut bersuara. Ia adalah public intellectual, seorang pemikir yang tahu bahwa ilmu bukan untuk memperkuat kekuasaan, tapi untuk memperkuat rakyat.
Di masa Orde Baru, ketika kritik bisa berujung penjara, Kwik menulis di Kompas. Tulisannya tajam, namun penuh akal sehat. Ia mengingatkan bahwa utang bukan solusi, bahwa pertumbuhan yang tidak menyentuh rakyat kecil hanyalah angka kosong. Ia menyoroti bagaimana konglomerat dan oligarki menguasai sumber daya, sementara petani dan nelayan terus terpinggirkan.
Yang luar biasa, ketika Reformasi datang dan ia dipanggil menjadi Menteri Koordinator Ekonomi (1999-2000), lalu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (2001-2004), ia tidak berubah. Jabatan tidak mengubah prinsipnya. Ia tetap mengkritik, tetap mempertanyakan, tetap menolak kebijakan yang merugikan rakyat. Bahkan, ia rela mengundurkan diri ketika kebijakan negara berbelok dari nilai-nilai yang ia pegang.