Bagi orang tua, kehadiran dalam MPLS memberikan rasa tenang bahwa anak-anak mereka diterima di lingkungan yang aman dan mendukung. Sesi orientasi bersama sekolah memungkinkan orang tua memahami filosofi pendidikan institusi, sehingga strategi pengasuhan di rumah bisa selaras dengan metode pembelajaran di sekolah.
Sementara bagi guru dan karyawan, MPLS adalah kesempatan membangun hubungan empatik dengan peserta didik sejak awal. Melalui pendekatan yang tidak otoriter, guru dapat mengidentifikasi kebutuhan psikologis individu, seperti anak yang pemalu atau rentan cemas, untuk kemudian diintervensi secara tepat.
Ritus Transisi dan Penguatan Identitas Budaya
Dari perspektif antropologi, MPLS adalah bentuk modern dari rite of passage, ritus transisi yang menandai perpindahan peserta didik dari satu fase kehidupan ke fase berikutnya. Di Indonesia, ritus ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif, melibatkan keluarga, guru, dan masyarakat.
Misalnya, di beberapa daerah, MPLS dilengkapi dengan upacara adat, tarian tradisional, atau pengenalan nilai-nilai lokal seperti gotong royong. Proses ini memperkuat identitas budaya peserta didik sekaligus menegaskan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Keterlibatan orang tua dalam MPLS mencerminkan filosofi bahwa keluarga dan sekolah adalah mitra dalam mendidik. Orang tua tidak hanya menjadi penonton, tetapi aktif dalam sesi diskusi atau kegiatan praktis, seperti membantu persiapan fasilitas sekolah. Hal ini memperkuat prinsip gotong royong, nilai inti dalam masyarakat Indonesia.
Selain itu, MPLS menjadi wahana transfer nilai-nilai sosial yang dihargai masyarakat, seperti penghormatan terhadap otoritas, toleransi, dan kepedulian lingkungan. Aktivitas seperti pembiasaan sholat berjamaah, gotong royong membersihkan sekolah, atau penyuluhan narkoba menginternalisasi norma-norma tersebut pada peserta didik.
Pada tingkat yang lebih luas, MPLS juga menanamkan identitas nasional melalui pengenalan Pancasila, UUD 1945, dan sejarah perjuangan bangsa, sehingga peserta didik tidak hanya menjadi warga sekolah, tetapi juga warga negara yang berbudi luhur.
MPLS sebagai Wujud Kolaborasi Sosial yang Berkelanjutan
Selain itu, semangat kolaborasi dan penguatan identitas yang diwujudkan melalui MPLS juga berakar dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Pada 22 Desember 1928, Kongres Wanita Indonesia Pertama di Yogyakarta menjadi tonggak awal gerakan emansipasi perempuan, dengan agenda memperjuangkan akses pendidikan, penghapusan poligami, dan perlindungan hukum.
Hasil kongres ini melahirkan Perikatan Perempuan Indonesia, cikal bakal Kowani (Kongres Wanita Indonesia), yang hingga kini menjadi wadah koalisi organisasi perempuan dalam advokasi kesetaraan gender.
Pada 1940, semangat kongres tersebut menginspirasi lahirnya Yayasan Hari Ibu, yang fokus pada pemberdayaan perempuan melalui program kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Tanggal 22 Desember kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional untuk mengenang peran perempuan dalam pembangunan bangsa.Â