Etu: Tinju Adat dan Seni Rekonsiliasi
Â
Di desa Leder, yang terletak di lembah hijau di bawah bayang-bayang gunung Ebulobo, tradisi etu atau tinju adat bukan sekadar pertarungan. Ritual tahunan ini adalah jembatan yang menyatukan suku-suku di wilayah tersebut, mengajarkan keberanian, kehormatan, dan persaudaraan.
Namun, di balik makna luhur itu, ada ketegangan yang menguji hati manusia, antara rasa malu pribadi yang membakar dan kekuatan persatuan yang menenangkan.
Roger, pemuda dari desa Leder, berdiri di arena etu dengan jantung berdegup kencang. Ini adalah kali pertamanya mewakili sukunya, dan ia membawa harapan besar di pundaknya. Lawannya, Milla dari desa Tibakisa, dikenal lincah dan cerdik.
Hari itu, arena dipenuhi sorak sorai warga. Pukulan demi pukulan mendarat dengan keras, debu beterbangan di udara. Namun, di akhir pertarungan, Milla berhasil mengungguli Roger. Ketika lonceng tanda selesai dibunyikan, keduanya berpelukan dan berjabat tangan sesuai tradisi, disaksikan para tetua adat. Senyum terukir di wajah mereka, tapi di hati Roger, ada luka yang tak terucap.
Kekalahan yang Menyisakan Rasa Malu
Di balik senyum paksa itu, Roger merasa dunianya runtuh. Kekalahan di depan seluruh desa membuatnya merasa terhina. "Aku gagal membela martabat desa Leder," bisiknya dalam hati, matanya tertunduk menatap tanah.
Rasa malu itu tumbuh menjadi amarah yang membara. Ia mendengar bisik-bisik di desa: "Anak desa Leder kalah dari desa Tibakisa."
Setiap kata itu seperti pisau yang menusuk, memperdalam luka batinnya. Meski di depan para tetua ia menunjukkan sikap damai, benih dendam telah tertanam kuat di dalam dirinya.
Hari demi hari, bayangan kekalahan itu menghantuinya. Ia tak bisa tidur, terjaga oleh suara ejekan yang hanya ada di kepalanya. Martabatnya terasa tercoreng, dan ia merasa terdorong untuk membuktikan sesuatu, bahwa ia bukan pecundang. Dalam kegelapan hati, ia membuat keputusan impulsif yang kelam: ia akan membalas dendam.
Tindakan Dendam yang Mengguncang Desa
Beberapa pekan setelah etu, pada malam yang sunyi, Roger mengajak beberapa teman dekatnya. Mereka menyergap Milla saat ia berjalan pulang dari ladang. Tanpa kata, mereka menghajar Milla tanpa ampun, pukulan demi pukulan mendarat hingga pemuda itu terkapar dengan luka parah.