Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Etu: Tinju Adat dan Seni Rekonsiliasi

8 Juli 2025   13:09 Diperbarui: 8 Juli 2025   13:14 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Etu: Tinju Adat dan Seni Rekonsiliasi

 

Di desa Leder, yang terletak di lembah hijau di bawah bayang-bayang gunung Ebulobo, tradisi etu atau tinju adat bukan sekadar pertarungan. Ritual tahunan ini adalah jembatan yang menyatukan suku-suku di wilayah tersebut, mengajarkan keberanian, kehormatan, dan persaudaraan.

Namun, di balik makna luhur itu, ada ketegangan yang menguji hati manusia, antara rasa malu pribadi yang membakar dan kekuatan persatuan yang menenangkan.

Roger, pemuda dari desa Leder, berdiri di arena etu dengan jantung berdegup kencang. Ini adalah kali pertamanya mewakili sukunya, dan ia membawa harapan besar di pundaknya. Lawannya, Milla dari desa Tibakisa, dikenal lincah dan cerdik.

Hari itu, arena dipenuhi sorak sorai warga. Pukulan demi pukulan mendarat dengan keras, debu beterbangan di udara. Namun, di akhir pertarungan, Milla berhasil mengungguli Roger. Ketika lonceng tanda selesai dibunyikan, keduanya berpelukan dan berjabat tangan sesuai tradisi, disaksikan para tetua adat. Senyum terukir di wajah mereka, tapi di hati Roger, ada luka yang tak terucap.

Kekalahan yang Menyisakan Rasa Malu

Di balik senyum paksa itu, Roger merasa dunianya runtuh. Kekalahan di depan seluruh desa membuatnya merasa terhina. "Aku gagal membela martabat desa Leder," bisiknya dalam hati, matanya tertunduk menatap tanah.

Rasa malu itu tumbuh menjadi amarah yang membara. Ia mendengar bisik-bisik di desa: "Anak desa Leder kalah dari desa Tibakisa."

Setiap kata itu seperti pisau yang menusuk, memperdalam luka batinnya. Meski di depan para tetua ia menunjukkan sikap damai, benih dendam telah tertanam kuat di dalam dirinya.

Hari demi hari, bayangan kekalahan itu menghantuinya. Ia tak bisa tidur, terjaga oleh suara ejekan yang hanya ada di kepalanya. Martabatnya terasa tercoreng, dan ia merasa terdorong untuk membuktikan sesuatu, bahwa ia bukan pecundang. Dalam kegelapan hati, ia membuat keputusan impulsif yang kelam: ia akan membalas dendam.

Tindakan Dendam yang Mengguncang Desa

Beberapa pekan setelah etu, pada malam yang sunyi, Roger mengajak beberapa teman dekatnya. Mereka menyergap Milla saat ia berjalan pulang dari ladang. Tanpa kata, mereka menghajar Milla tanpa ampun, pukulan demi pukulan mendarat hingga pemuda itu terkapar dengan luka parah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun