Di Makassar, reklamasi pantai untuk pembangunan memperparah erosi, menggusur nelayan tanpa konsultasi (Jurnal Legislasi Indonesia, 2018). Masyarakat kadang berkontribusi pada masalah, seperti membuang sampah ke laut, karena kurangnya edukasi lingkungan (TripAdvisor, 2023).
Leadership Quarterly (2022) memperingatkan bahwa pendekatan top-down tanpa keterlibatan budaya lokal mengurangi efektivitas adaptasi hingga 45%. Tanpa integrasi kearifan lokal, solusi teknis hanya menawarkan perbaikan sementara.
Tindakan Konkret dan Logis
Di Tambaklorok, Semarang, komunitas nelayan mengembangkan adaptasi berbasis budaya. Mereka memperkuat sedekah laut dengan kampanye lingkungan, mengedukasi warga tentang pengelolaan sampah dan konservasi mangrove. Mereka juga membangun tambak garam di lahan terdampak rob, menggunakan teknik tradisional untuk menjaga produktivitas (Jurnal Biologi Tropis, 2024).
Di Makassar, komunitas Bugis di Tallo menerapkan appasili, membatasi penangkapan ikan untuk mendukung regenerasi biota laut, sambil menanam mangrove secara komunal (Green Network Asia, 2024). Kedua komunitas melibatkan anak muda untuk mendokumentasikan praktik ini melalui media sosial, menarik dukungan LSM dan pemerintah lokal.
Inisiatif ini meningkatkan ketahanan pesisir 30% dalam 3 tahun (Journal of Community Psychology, 2022). Pendekatan ini menggabungkan ilmu lingkungan (restorasi ekosistem) dan antropologi budaya (ritual dan solidaritas).
Fakta tentang Adaptasi dan Kearifan Lokal
Kenaikan permukaan air laut meningkatkan salinitas tanah, mengurangi hasil pertanian hingga 20% di pesisir (Nature, 2024). Journal of Environmental Psychology (2023) menemukan bahwa ritual komunal seperti sedekah laut meningkatkan kohesi sosial hingga 35%, mendukung aksi kolektif seperti penanaman mangrove.
Sistem pertanian tradisional, seperti tambak garam atau sawah apung, menyesuaikan siklus alam, mengurangi kerentanan hingga 25% (Penerbit BRIN, 2024). Cultural Anthropology (2021) mencatat bahwa kearifan lokal, seperti pantangan appasili, menjaga keberlanjutan ekosistem laut dengan mengurangi eksploitasi berlebih. Namun, tantangan seperti biaya teknologi dan akses internet di pedesaan (hanya 15% desa pesisir memiliki koneksi stabil) membatasi skalabilitas (Modern Diplomacy, 2024).
Menghidupkan Kearifan Lokal
Saat banjir rob mengancam, komunitas Tambaklorok mengadakan "kampung hijau," mengajak warga menanam mangrove sambil menggelar selametan. Mereka menggunakan perahu tradisional untuk distribusi bibit, mengurangi biaya.
Di Makassar, nelayan Tallo memperluas appasili dengan pelatihan konservasi, bekerja sama dengan universitas lokal untuk memetakan ekosistem. Anak muda merekam ritual ini sebagai konten edukasi daring, menjangkau wisatawan dan donatur.
Pendekatan ini meningkatkan partisipasi komunal 20% dalam setahun (Jurnal Biologi Tropis, 2024). Dengan mengintegrasikan budaya dan ilmu lingkungan, adaptasi menjadi lebih berkelanjutan.