Lohanao (Ndasmu) dan "Demokrasi" ala Kelurahan Tambun
Kisah ini terinspirasi oleh sebuah pengalaman nyata hampir 25 tahun lalu di Madagascar. Ada kejadian menarik di sudut pasar, ada tiga evangelis 2 orang asing (Kanada) dan satu evangelis setempat. Mereka berapi-api berkhotbah kepada siapa saja di pasar itu, tidak peduli ada yang mendengarkan mereka atau tidak. Entah karena apa, evangelis lokal marah-marah kepada seorang pemuda yang mencibirnya, “Cari makan tidak begini-begini amat, ini pasar bukan gereja.” Tidak ada yang melerai, orang sibuk dengan dagangan dan belajaan mereka. Akhirnya mereka diam sendiri dan ketiga evangelis itupun pergi dari pasar.
***
Di Ambalavao, kurang lebih 488 km dari Antananarivo, ibu kota negara Madagascar terkenal subur, di mana sapi-sapi tambun berjajar rapi di padang rumputnya (baca: para pejabat kelurahan dengan perut buncit), hiduplah seorang lurah bernama Pak Lo. Nama lengkapnya tidak penting, karena masyarakat lebih mengenalnya sebagai “Lurah Lohanao”. Julukan ini melekat setelah pidato 100 hari kerjanya yang fenomenal, di mana ia menyebut siapa pun yang kritis terhadap kebijakannya sebagai "Lohanao" atau dalam bahasa Indonesia: “kepalamu”, atau Bahasa Jawa: "Ndasmu" atau Bahasa Bajawa “ulugau”.
Pidato itu dimulai dengan nada penuh semangat. "Warga sekalian! Dalam 100 hari saya menjabat, saya telah membawa kemakmuran bagi seluruh kelurahan!" serunya dengan suara lantang, sambil menepuk dadanya berkali-kali.
Namun, ada satu hal yang aneh. Kemakmuran yang ia maksud ternyata hanya dirasakan oleh segelintir orang, para pejabat kelurahan yang jumlahnya lebih banyak daripada sapi di pasar hewan. Setiap minggu, mereka mengadakan rapat panjang yang berakhir dengan jamuan makan besar-besaran. Warga biasa? Mereka hanya bisa melihat dari jauh sambil bergumam pelan, "Ini bukan kemakmuran, tapi makmur untuk perut mereka saja."
Tapi masalah utama bukan soal perut para pejabat. Melainkan sikap arogan Pak Lo sendiri. Ia adalah tipe pemimpin yang merasa dirinya tak tersentuh. Kritik sedikit saja, langsung disambut dengan kalimat andalannya: "Lohanao!"
Suatu hari, seorang warga bernama Pak Rakoto mencoba memberi masukan. "Pak Lurah, kenapa anggaran pembangunan jalan malah habis untuk beli kursi baru di balai kelurahan? Bukannya prioritas kita memperbaiki jalan berlubang?"
Tanpa basa-basi, Pak Lo menjawab dengan nada tinggi, "Lohanao, Pak Tono! Jangan seenaknya mengkritik! Kursi baru ini demi kenyamanan warga saat datang ke balai kelurahan!"
Pak Rakoto hanya bisa garuk-garuk kepala. "Tapi kan, Pak, kalau jalan berlubang begini, warga nggak bakal nyampe balai kelurahan. Mereka malah mogok di tengah jalan..."
Belum sempat Pak Tono menyelesaikan kalimatnya, Pak Lo sudah memotong dengan nada geram, "Sudah cukup! Lo-hanao sekalian kalau kamu nggak suka sama kebijakan saya! Saya ini bekerja demi kemakmuran semua!"
Cerita semacam ini terus berulang. Bahkan, ketika Bu Aina protes karena lampu jalan di depan rumahnya mati selama dua bulan, jawaban Pak Lo tetap sama: "Lohanao, Bu Siti! Lampu mati itu bagian dari program hemat energi!"
Akhirnya, warga mulai bosan mendengar kata-kata tersebut. Namun, mereka juga menemukan cara unik untuk membalas dendam. Kata "Lohanao" yang awalnya menjadi senjata Pak Lo untuk membungkam kritik, lambat laun berubah menjadi meme viral di kalangan warga.
Contohnya, ketika anak-anak bermain petak umpet, jika ada yang tertangkap, mereka akan berteriak, "Eh, lohanao lu ya, ngumpet di situ doang!" Atau saat istri marah pada suaminya karena pulang telat, dia akan berkata, "Lohanao, Mas! Kerja apa sampe malem gini?"
Bahkan, di warung kopi milik Pak Dimby, kata "Lohanao" menjadi menu spesial. Jika ada pelanggan memesan kopi tanpa gula, Pak Dimby akan bilang, "Waduh, lohanao nih orang, minum kopi pahit-pahit gitu."
Puncaknya terjadi ketika Pak Lo mengadakan acara ulang tahun kelurahan. Dengan penuh percaya diri, ia naik ke atas panggung dan berpidato lagi, kali ini tentang visi misi lima tahun ke depan. Namun, baru beberapa menit berbicara, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
"Lohanao, Pak Lurah! Ngomong mulu nggak ada kerja nyata!"
Semua mata tertuju ke sumber suara. Ternyata itu adalah Pak Tono, bersama sekelompok warga lainnya yang membawa spanduk bertuliskan, "Kelurahan Tambun Butuh Perubahan, Bukan Lohanao!"
Pak Lo syok. Untuk pertama kalinya, ia tak bisa berkata apa-apa. Biasanya, ia akan langsung menyebut "Lohanao" balik, tapi kali ini lidahnya kelu. Sebab, seluruh warga kompak meneriakkan slogan yang sama: "Lohanao!"
Merasa terpojok, Pak Lo akhirnya mundur dari podium dengan langkah gontai. Di tengah jalan, ia masih mendengar suara-suara ejekan dari warga:
"Lohanao, Pak Lurah! Jangan lupa kasih makan sapi-sapi tambunmu, biar cepet disembelih!"
Sejak hari itu, Pak Lo jarang terlihat di kelurahan. Kabarnya, ia pindah ke desa sebelah dan mencalonkan diri jadi kepala desa. Tapi kali ini, ia menggunakan slogan baru: "Kepemimpinan Tanpa Lohanao."
Sayangnya, belum ada yang percaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI