Belum sempat Pak Tono menyelesaikan kalimatnya, Pak Lo sudah memotong dengan nada geram, "Sudah cukup! Lo-hanao sekalian kalau kamu nggak suka sama kebijakan saya! Saya ini bekerja demi kemakmuran semua!"
Cerita semacam ini terus berulang. Bahkan, ketika Bu Aina protes karena lampu jalan di depan rumahnya mati selama dua bulan, jawaban Pak Lo tetap sama: "Lohanao, Bu Siti! Lampu mati itu bagian dari program hemat energi!"
Akhirnya, warga mulai bosan mendengar kata-kata tersebut. Namun, mereka juga menemukan cara unik untuk membalas dendam. Kata "Lohanao" yang awalnya menjadi senjata Pak Lo untuk membungkam kritik, lambat laun berubah menjadi meme viral di kalangan warga.
Contohnya, ketika anak-anak bermain petak umpet, jika ada yang tertangkap, mereka akan berteriak, "Eh, lohanao lu ya, ngumpet di situ doang!"Â Atau saat istri marah pada suaminya karena pulang telat, dia akan berkata, "Lohanao, Mas! Kerja apa sampe malem gini?"
Bahkan, di warung kopi milik Pak Dimby, kata "Lohanao" menjadi menu spesial. Jika ada pelanggan memesan kopi tanpa gula, Pak Dimby akan bilang, "Waduh, lohanao nih orang, minum kopi pahit-pahit gitu."
Puncaknya terjadi ketika Pak Lo mengadakan acara ulang tahun kelurahan. Dengan penuh percaya diri, ia naik ke atas panggung dan berpidato lagi, kali ini tentang visi misi lima tahun ke depan. Namun, baru beberapa menit berbicara, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
"Lohanao, Pak Lurah! Ngomong mulu nggak ada kerja nyata!"
Semua mata tertuju ke sumber suara. Ternyata itu adalah Pak Tono, bersama sekelompok warga lainnya yang membawa spanduk bertuliskan, "Kelurahan Tambun Butuh Perubahan, Bukan Lohanao!"
Pak Lo syok. Untuk pertama kalinya, ia tak bisa berkata apa-apa. Biasanya, ia akan langsung menyebut "Lohanao" balik, tapi kali ini lidahnya kelu. Sebab, seluruh warga kompak meneriakkan slogan yang sama: "Lohanao!"
Merasa terpojok, Pak Lo akhirnya mundur dari podium dengan langkah gontai. Di tengah jalan, ia masih mendengar suara-suara ejekan dari warga: