Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cinta dan Pengosongan Diri

17 Februari 2021   22:54 Diperbarui: 17 Februari 2021   23:59 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpaperaccess.com

Seringkali berbicara tentang kasih dan cinta selalu berimplikasi pada sebuah keharmonisan serta ketentraman dimensi interior manusia, baik itu perasaan, aura dan pelbagai macam hal lainnya diarahkan demi meraih kesungguhan bahwa cinta akan memberikan dampak terbaik bagi jiwa dan batin manusia.

Selagi hari ini mendapatkan pengalaman buruk ada keyakinan bahwa esok hari akan lebih indah hingga daripada itu pula akibat analogi tersebut memantik sebuah optimisme pada seluruh cita rasa manusia menghayati hidupnya. Melalui paradigma atau tolak ukur cinta yang demikian, cinta menjadi sebuah keharusan dan sangat penting untuk diterapkan pada hal-hal konkret manusia dalam memperjuangkan hidupnya di dunia, seberapa kecil pekerjaan atau aktivitas yang dihasilkan, bila disertai dengan cinta hal tersebut akan menimbulkan sebuah kegembiraan, sebab konkretnya hidup manusia melalui cara demikian merupakan sebuah upaya untuk mensyukuri serta menghargai anugerah hidup yang Tuhan berikan dalam ruang dan waktu sebagaimana Ia adakan untuk kita cecap di tiap detiknya. Pasalnya apakah cinta memang dapat diukur sedemikian rupa? Mungkinkah Tuhan disukakan hati-Nya bila tiap umat-Nya mengukur cinta melalui cara demikian?

Sejenak pada tulisan singkat ini aku ingin membagikan sebuah pikiranku tentang Tuhan dan penghayatan cinta itu sendiri, bukan demi memantikkan khotbah atau permenungan pada mimbar keagamaan, tetapi sebuah pengungsian diri dari dogmatisme di mana mengantarkan manusia agar dengan rendah hati sadar serta bahwa cinta tak semudah itu dirumuskan demikian, sebab pasalnya cinta itu walau memang sebuah keharusan tetapi tak semudah itu dilekatkan pada Tuhan, yang mana seluruh entitasnya adalah pengada pada dirinya, ia tak dapat diganggu gugat sekalipun cinta kita sebagaimana tulus adanya diharapkan mampu menyukakan hati-Nya berdasarkan ukuran manusia semata, tetap saja Ia tak dapat tergerus oleh pemberian kita yang sangat tak begitu berarti adanya.

Cinta dan persoalan kalkulasi

Pada dasarnya manusia memang wajib untuk mencintai. Sedemikian rupa adanya manusia, baik itu sempurna secara fisik maupun tidak, cinta tetaplah merupakan keluhuran yang musti dipertanggungjawabkan entah apapun caranya. Cinta tak pernah timbul berdasarkan feeling semata, tak diukur oleh karena keuntungan, apalagi sebuah balas budi, cinta juga tak hanya ada pada kekaguman oleh hal-hal lahiriah, tetapi justru cinta hadir dari ketiadaan pikiran manusia terhadap hal-hal yang bagi dirinya merupakan hak sebagaimana perlu dilunaskan.

Melalui paradigma demikian tentu bahwa cinta adalah sebuah pemberian dan tak mengharap sebuah penerimaan, oleh karena itu hadirnya luhur dan tak tercela, bahkan justru hal tersebut dapat pula mengajak manusia untuk tidak memandang rendah sesamanya sekalipun mantan penjahat atau sedang melakukan kejahatan sekalipun, cinta tetap terberi setiap saatnya. Walau demikian sesungguhnya terkait kejahatan pada pikiran ini tak pernah terpikir pada dasarnya bahwa jahat merupakan takdir, sebab sebagaimana yang melahirkan kejahatan adalah tepat ketika cinta diperhitungkan kalkulasi, karena dalam kalkulasi ada balas budi, keserakahan, dan tak pernah mau untuk memberi.

Hanya saja ketika cinta mulai diperhadapkan pada Tuhan, problemnya adalah lebih mengarah kepada unsur kebaikan, kemuliaan, dan sebuah keagungan yang mana dapat dirumuskan berdasarkan kategori-kategori sebagaimana tercipta pada tatanan pemilahan dari para manusia belaka. Hingga daripada itu pula menciptakan sebuah kecondongan agar bergerak atau bertindak memuliakan Tuhan lebih dengan keterarahan yang sungguh-sungguh hadir secara sempurna berdasarkan ukuran manusia belaka.

Sesungguhnya hal demikian bila dipilah secara lebih mendalam adalah rupa yang tergambar pada bilik-bilik ketakwaan semu dengan tak lagi menyertakan keseluruhan alam serta relasi di hadapan semesta. Secara keseluruhan Tuhan dan cinta adalah satu, jika siapapun menilik cinta dengan pengosongan di hadapan Tuhan, demikianlah cinta akan terus memiliki sifatnya yang hakiki di mana mengantar manusia pada cinta sebagai aktualitas tanpa pamrih.

Sebut saja pohon di mana tiba saatnya untuk mengugurkan daunnya pada musim dingin, apakah ia akan mati? Tentu tidak dia justru menganugerahkan kehidupan bagi kesuburan tanah agar seluruh komponen di dalam tanah mendapat kesuburannya secara seimbang. Dan hal tersebut adalah interaksi serta taat pada hukum alam,

Lalu demikian pula manusia terkubur ketika tepat tak kuasa menahan sakit alamiahnya akibat rentanya usia, apakah titik kasihnya akan terhenti? Tentu tidak. Ia akan lapuk bersatu hingga menjadi debu, dan seluruh cerita serta eksistensi kehidupannya akan tetap menjadi suri teladan yang akan memberi sebuah keistimewaan pada tiap-tiap penuturan sesamanya, dan itu lagi-lagi baru mendapat tempat dalam relasi serta kedekatan. Sehingga apakah persembahan yang tepat kepada Tuhan?

Keagungan dalam senyap

Secara terhormat terhadap Tuhan, pikiran ini hanya ada pada senyap, dengan mensyukuri bahwa cinta adalah itu jejak untuk menemukan Tuhan. Dan keagungan itu tidak lain dan tidak bukan, hanya ada pada diam serta memberi diri sebaik mungkin pada kenyataan yang telah Tuhan aktualisasikan dalam keseluruhan hari-hari yang telah digariskan sedemikian rupa.

Persembahan bagi-Nya adalah kesungguhan manusia untuk mencintai dengan segenap ketakwaan agar tak menyentuh Tuhan berdasarkan hal-hal fisik semata, pengosongan diri adalah jalan paling berharga di hadapan Tuhan. Kosong terhadap kesombongan, kosong terhadap pamrih, kosong terhadap hal yang akan diterima setelah puasa dan pantang di hari ini, serta kosong tentang Tuhan dengan mau-Nya apa.

Sejenak senyap tanpa berkata-kata dan menjalani rutinitas tanpa menggerutu serta memberi tempat kepada cinta atas segala rutinitas hari ini dan mendatang amat sangat berharga. Sebab Tuhan itu misteri, bila Ia dapat diulas pada konsep oleh karena segumpalan daging pada otak manusia Ia bukan lagi yang misteri, dan potensialitas telah melekat pada-Nya.

Hingga kini sebagaimana umat Kristiani merayakan pekan prapaskahnya, mungkin penting untuk secara tulus tak mempertanyakan Tuhan akan memberi apa pada tiap-tiap laku tapa yang dilakukan umatnya, tetapi sejenak dengan tulus dan ikhlas mencintai secara wajar dan tekun memberi pada tiap-tiap harinya tanpa perlu memikirkan balasan, sebab yang berdoa demi dilihat orang telah mendapat upahnya.

Rabu Abu, 18 February 2021

Abepura-Papua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun