Mohon tunggu...
Alfons Ikhsan Dwi Pamungkas
Alfons Ikhsan Dwi Pamungkas Mohon Tunggu... Mahasiswa upi kampus purwakarta - S1 Mekatronika dan kecerdasan buatan

Mengunggah essai, kti, laporan terkait tugas kuliah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Titik Temu Teknologi dan Kemanusiaan: Pembelajaran dari Sesi Career Starter, Pencegahan Kekerasan Seksual, dan Pentingnya Boundaries di Kampus

5 Oktober 2025   19:00 Diperbarui: 5 Oktober 2025   18:59 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Nah, Kak Gita juga kenalin konsep consent lewat prinsip FRIES: Freely Given (diberikan tanpa paksaan), Reversible (bisa dicabut kapan aja), Informed (harus paham apa yang disetujui), Enthusiastic (harus dengan semangat), dan Specific (hanya berlaku untuk hal yang jelas). Buat pencegahan, kita diajak buat lebih peduli sama lingkungan sekitar, kenali red flags, dan jangan ragu buat jadi bystander yang aktif. Kalau ada teman yang mengalami, dukung mereka buat laporkan ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SPPKS) di kampus. Prosesnya dijamin kerahasiaannya dan berpijak pada asas praduga tidak bersalah. Intinya, jangan diam aja. Kita semua punya peran buat ciptakan lingkungan yang aman dan saling menghargai.

Kak Gita jelasin gimana cara identifikasi situasi berisiko. Misalnya, ketika ada yang maksa minum-minuman beralkohol padahal udah ditolak, atau ketika ada senior yang pake jabatannya buat maksa junior. Dia juga kasih contoh red flags dalam pertemanan, kayak temen yang selalu ngeabaikan ketika kita bilang "stop" atau "nggak mau".

Untuk penanganan, Kak Gita detailin langkah-langkah yang harus dilakukan kalo ada teman yang jadi korban. Pertama, dengar ceritanya tanpa njudge. Kedua, yakinkan bahwa ini bukan salah mereka. Ketiga, kasih informasi tentang layanan bantuan yang available, termasuk konseling dan pendampingan hukum. Keempat, dukung keputusan mereka, mau laporkan atau nggak.

Yang penting, Kak Gita tekankan bahwa SPPKS di kampus udah punya prosedur yang jelas. Mulai dari pengaduan, verifikasi, investigasi, sampai penanganan. Korban dijamin kerahasiaannya dan nggak akan direvictimatization. Prosesnya fair, baik buat korban maupun pelaku.

Dia juga ingetin buat selalu praktikin bystander intervention. Kalo liat situasi yang berpotensi kekerasan seksual, jangan diam aja. Bisa dengan cara alihin perhatian, cari bantuan, atau langsung hadang pelaku. Yang paling penting, ciptakan budaya saling jaga di lingkungan kampus.

Bu Liptia ngingetin kita bahwa masa kuliah emang harus menyenangkan, tapi jangan sampe lupa sama batasan diri. "Campus life is fun, but boundaries are key" kalimat itu ngena banget buat kita yang baru aja masuk dunia perkuliahan. Di kampus, kita ketemu sama orang-orang dari berbagai latar belakang, punya kebebasan lebih buat eksplor minat, ikut organisasi, dan cari jati diri. Tapi, kebebasan itu bisa jadi pedang bermata dua kalo nggak dikontrol.

Bu Liptia jelasin bahwa boundaries itu seperti pagar pengaman di taman bermain. Pagarnya bikin kita bisa main dengan bebas tapi tetap aman. Di kampus, boundaries bikin kita bisa eksplorasi berbagai hal tanpa kehilangan arah. Dia kasih contoh, tanpa academic boundaries, kita bisa keasyikan organisasi sampe lupa kuliah. Tanpa financial boundaries, kita bisa ikut-ikutan gaya hidup mewah sampe utangan. Tanpa time boundaries, kita bisa kecapekan karena mau ngejar semua opportunity.

Bu Liptia kasih tips praktis buat jaga boundaries: punya prinsip yang jelas, kenali red flags dalam pertemanan, cari komunitas yang positif, dan berani bilang "nggak". Batasan itu nggak cuma soal pergaulan, tapi juga mencakup akademik, finansial, privasi, waktu, kesehatan, sampai moral dan etika. Misalnya, jangan sampai kita terlalu larut dalam kegiatan non akademik sampe ngorbanin waktu belajar. Atau, jangan ikut-ikutan gaya hidup yang nggak sesuai kemampuan finansial. Dengan punya batasan yang jelas, kita justru bisa lebih menikmati proses belajar dan tumbuh di kampus tanpa kehilangan arah. Yang paling penting, hormati juga batasan orang lain. Dengan begitu, kita bisa ciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan saling mendukung.

Bu Liptia jelasin setiap jenis boundaries secara detail. Academic boundaries termasuk nentuin jam belajar tetap, nggak nyontek, dan berani minta tolon g ketika kesulitan. Financial boundaries berarti hidup sesuai budget, nggak gengsi, dan nabung untuk kebutuhan penting. Social boundaries termasuk milih pertemanan yang positif dan berani meninggalkan lingkungan toxic.

Health boundaries mencakup jadwal tidur yang cukup, makan teratur, dan olahraga rutin. Mental health boundaries berarti berani bilang ketika capek, nggak memaksakan diri, dan cari bantuan ketika butuh. Bahkan Bu Liptia tekankan pentingnya digital boundaries - batasin waktu di media sosial dan jaga privasi online.

Bu Liptia kasih contoh konkret gimana mahasiswa bisa terapin boundaries sehari-hari. Misalnya, ketika diajak nongkrong malem minggu padahal besok ujian, berani bilang "sorry, aku harus belajar". Atau ketika temen maksa pinjem uang padahal sendiri lagi sesak, berani nolak dengan sopan. Ketika diajak nyontek, teguh sama prinsip untuk nggak ikut-ikutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun