Saya ingat duo tokoh politik yang kerap mengkritik pemerintah yakni Fadli Zon dan Fahri Hamzah menerima penghargaan Bintang Mahaputra Nararya dari Presiden Jokowi.Â
Penghargaan ini diterima karena keduanya dianggap berjasa selama menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019. Penghargaan ini diterima pada tanggal 12 Agustus 2020 yang lalu.Â
Kala itu penghargaan ini menuai kontroversi. Saya pun kemudian menuliskannya lewat artikel yang berjudul "Fadli Zon dan Fahri Hamzah Menerima Bintang Jasa Dibidang Persontoloyoan". Artikel ini kemudian terpilih pula menjadi artikel utama dan mendapatkan atensi cukup baik dari pembaca. Artikel tersebut bisa dibuka disini.
Fahri Hamzah dan Fadli Zon (Duo F) adalah contoh pihak yang kerap kali melayangkan kritik pedas kepada pemerintah. Dalam berbagai kesempatan, keduanya aktif menyuarakan perbedaan pendapat yang tajam terhadap beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah.Â
Sebut saja mengenai utang pemerintah, perpindahan ibu kota, hingga kebijakan kementerian KKP yang pada saat itu masih dipegang oleh Susi Pudjiastuti.
Kritik yang mereka lancarkan tak jarang membuat tensi menghangat. Apakah mereka kurang cinta tanah air? Saya pun tak tahu. Itu ada dalam sanubari kedua beliau. Yang pasti menurut saya, kritik pada pemerintah harus didasarkan pada rasa cinta terhadap tanah air.Â
Terlepas dari itu, kritik-kritik duo F menurut saya tetap penting sebagai penyeimbang dalam pemerintahan. Agar setiap kebijakan itu sungguh-sungguh diperhitungkan secara matang dan diputuskan dengan bijak untuk kemaslahatan rakyat.
Kritik pada aparatur pemerintah itu penting. Bagaimana bisa penting? Ketika kritik tersebut bisa memperbaiki kinerja atau pelayanan yang dirasa kurang maksimal. Ketika kritik itu berhasil meluruskan kembali hal-hal yang menyimpang.Â
Ketika kritik membuka peluang untuk berbenah. Ini sekaligus sebagai obat bagi penyakit yang ada. Tidak sembarang obat, melainkan obat yang keras supaya birokrat bisa memperbaiki kekurangannya.Â
Ada satu ungkapan menarik dari Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo yang akan mengakhiri masa jabatannya hari ini. Beliau mengatakan bahwa pemimpin harus mau menerima kritik dan saran dari masyarakat. Kritik jangan diartikan memusuhi, tapi bagian dari memotivasi untuk melakukan evaluasi.
Kritik atas pejabat publik berbanding lurus dengan tingkat kepuasan publik kepada penyelenggara negara. Semakin rendah tingkat kepuasan publik, semakin banyak pula kritik yang diterima. Semakin rendah tingkat kepuasan publik, semakin pedas juga cara orang mengkritisinya.
Setidaknya ada 4 hal yang perlu diperhatikan pada saat akan menyampaikan kritik terhadap pejabat publik:
1. Kritik harus didasari oleh rasa kepedulian
Prinsipnya, mengkritik itu karena kita peduli. Mengkritik itu bukan seperti ketika anda menangkap lalu membunuh tikus yang telah menyusup masuk ke dalam rumah dan mencuri lauk.Â
Mengkritik bagaikan seorang kawan yang berkata pada kawannya "Dasar pemalas, bagaimana kamu bisa berhasil!." Ia mengatakan demikian karena tak mau kawannya gagal.
2. Kritik harus didasarkan pada fakta dan bukan opini
Bawa data yang aktual, berikan bukti. Ungkapkan bagaimana kebijakan atau sebuah kinerja itu merugikan serta tidak efektif. Jangan hanya menggunakan asumsi apalagi kita bukan ahlinya.
3. Kritik harus bersifat membangun dan bukan menjatuhkan
Karena didasari rasa kepedulian, maka pastilah tujuan kritik adalah untuk memperbaiki. Supaya kinerja menjadi lebih baik. Buntutnya, kritik itu untuk membangun prestasi.
4. Kritik harus fokus pada substansi, bukan pribadi apalagi SARA
Kritik jangan sampai menyerang personal. Kritik kepada birokrat didasarkan pada kinerja. Jangan membawa kekurangan fisik, keluarga, pengalaman pribadi di masa lalu, apalagi menyangkut suku, agama, ras, dan golongan.Â
Itu hanya akan memacu perpecahan. Tapi memang sih, kalau sudah berbau politis, kadang-kadang kritik menjadi tidak berdasar.
Saya pikir saat ini ada dua kubu besar dalam masyarakat kita. Kubu yang selalu mengkritik dan kubu yang selalu membela pemerintah. Keduanya menurut saya tidak pas. Kubu pengkritik selalu saja memandang negatif setiap langkah pemerintah. Tak obyektif. Pengkritik ini hanya menyajikan fakta sempit.Â
Kesannya mengkritik itu atas dasar kebencian. Atau mungkin ada kepentingan. Kubu yang selalu membela juga menurut saya tidak baik. Mereka seperti penggemar yang tidak bisa melihat kekurangan idolanya.Â
Padahal sejatinya kritik itu adalah kontrol. Jika tidak dikontrol, bisa saja keputusan yang diambil bukan keputusan terbaik karena kurangnya fakta yang dimiliki sebagai dasar pengambilan keputusan.
Mari menjadi pengkritik sebagai wujud cinta tanah air. Mengkritisi suatu kebijakan sebagai wujud kepedulian terhadap bangsa dan negara. Tak perlu menjadi fanatik kepada pemerintah atau anti-pemerintah. Lebih baik jadi "Fanatik" di Kompasiana saja.
Wassalam.