Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

2021, Antara Gaji Tak Naik dan Harga yang Tetap Cenderung Naik

31 Januari 2021   15:54 Diperbarui: 2 Februari 2021   18:25 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tanggal penggajian. Gambar: avrist.com

Tahun 2020 dan 2021 mungkin menjadi tahun terberat bagi para pekerja Indonesia.

Bagaimana tidak, 2020 bisnis tersendat. Banyak proyek terhenti, penjualan menurun, banyak usaha yang terpaksa gulung tikar, dan PHK dalam jumlah yang amat besar. Semua itu membayangi kondisi sepanjang tahun 2020. Akhirnya kondisi berat di tahun 2020 mau tidak mau berimbas ke tahun 2021.

2021 Upah kerja tak naik

Seperti tahun-tahun sebelumnya, biasanya awal tahun adalah waktu yang sudah ditunggu-tunggu oleh para pegawai. Ada rasa deg-degan dan juga was-was.

Hal ini dikarenakan awal tahun merupakan waktu kenaikan gaji pegawai. Jadi biasanya para pegawai sudah harap-harap cemas "gajiku naik berapa ya?"


Namun tahun ini suasananya berbeda. Tidak ada lagi yang berharap-harap cemas. Seperti di tempat kami bekerja. Direktur Utama (Dirut) kami telah mengeluarkan edaran dalam bentuk SK (Surat Keputusan) yang menyatakan bahwa untuk tahun ini tidak akan ada kenaikan gaji pegawai karena kondisi keuangan perusahaan yang kurang baik lantaran menurunnya omzet. Hal ini sudah disosialisasikan sampai ke level bawah bahkan sebelum pergantian tahun. 

Memang pemerintah melalui kementerian tenaga kerja sebelumnya telah mengumumkan bahwa Upah minimum regional (UMR) 2021 tidak mengalami kenaikan. Jadi keputusan direksi sama sekali tidak melanggar peraturan.

Keputusan manajemen perusahaan yang tidak menaikkan gaji karyawan sesungguhnya bukan hal yang mengagetkan mengingat selama bulan September hingga Desember 2020 kemarin karyawan sudah mengalami pemotongan gaji. 

Memang kondisi keuangan perusahaan waktu itu sedang berat. Antara pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang. Lebih banyak pengeluaran untuk operasional perusahaan seperti membayar gaji, membayar listrik, pembelian raw material, dan sebagainya. Pemasukan yang menurun secara kasat mata bisa dilihat langsung di lapangan. 

Aktualnya memang load kerja di bagian produksi menurun dengan sangat signifikan. Kami tidak pernah sesepi ini sebelumnya. Banyak customer yang memilih menunda atau membatalkan pesanan. 

Pada akhirnya, 2020 kemarin ada pengurangan karyawan sekitar 30 persen. Itu adalah pengurangan terbesar yang pernah terjadi. Pengurangan karyawan itu merupakan sebuah dilema. Tapi apa daya, hal itu tetap harus dilakukan untuk mengurangi beban keuangan.

Kebijakan tidak menaikkan upah pegawai tidak hanya terjadi di tempat saya bekerja. Beberapa industri manufaktur banyak pula yang menerapkan kondisi serupa. Khususnya bagi pengusaha yang terimbas oleh kondisi pandemi. 

Tak usah jauh-jauh. Perusahaan yang ada di sekitar kami di dalam kawasan industri mengalami hal yang sama. Tak hanya kenaikan upah, perusahaan yang biasanya memberikan bonus tahunan kepada karyawan pun terpaksa meniadakan bonus tersebut pada tahun 2020. 

Intinya, beberapa advantage yang biasa diterima karyawan sebagai penghargaan ditiadakan. Itulah kondisinya. Mau bagaimana lagi. Bukan waktunya untuk mengeluh. Semua mengalami kesulitan. 

Sebagai pekerja kita mesti tetap bersyukur bahwa di tengah kondisi pandemi seperti sekarang kita masih bisa berkarya. Mari mengingat banyaknya rekan-rekan yang terpaksa harus kehilangan mata pencaharian mereka.

Walaupun gaji tak naik, harga kebutuhan tetap cenderung naik

Ya, kenaikan harga memang selalu terjadi seiring dengan pergantian tahun. Itu wajar saja. Gaji naik, inflasi naik, harga-harga juga ikut terkerek naik. Sebut saja harga rumah pasti naik. Harga kendaraan naik. Peralatan rumah tangga naik. Dan yang paling bersentuhan dengan masyarakat adalah harga kebutuhan pokok yang ikut naik. 

Indikasi gampangnya, coba tengok harga makanan di warteg. Harga per itemnya sudah mengalami kenaikan. Antara 500 hingga 1000 perak.  Katakanlah harga seekor lele goreng kemarin 9.000 rupiah, sekarang jadi 10.000. 

Saya kemarin sempat beli gorengan di depan kantor. Yang tadinya 1.000 rupiah per gorengan. Kemarin yang jual bilang kalau sekarang harganya 2.500 per 2 gorengan. Atau 1.250 perak per gorengan. Alasannya klise, "karena harga-harga pada naik mas". 

Kenaikan harga nampaknya memang tidak signifikan. Angka 500 sampai 1.000 rupiah itu kecil. Tapi yang namanya kebutuhan pokok itu akan terus dibeli. Dampaknya yang kecil-kecil ini akan terasa. Seperti halnya pulsa. 

Bukankah di jaman modern seperti sekarang ini pulsa juga sudah menjadi kebutuhan pokok? Masih adakah yang hidup tanpa pulsa? Dari orang muda sampai yang tua. Dari pekerja dengan mobilitas tinggi hingga kaum rebahan semua membutuhkan yang namanya pulsa. 

Pulsa itu sama seperti makan dan minum. Wajib dikonsumsi. Jadi bila benar seperti diberitakan bahwa pulsa ditarik pajak dan harganya naik, walaupun naiknya kecil akan terasa karena ia menyatu dengan komponen-komponen hidup lain yang sudah naik.

Yah mau bagaimana lagi. 2021 gaji tak naik sedangkan harga kebutuhan pokok yang tetap naik adalah konsekuensi yang harus diterima.

Tetap bersyukur dan berharap, tahun ini akan ada perbaikan pasca pandemi. Jangan hilang semangat. Tetap berusaha dan cintai pekerjaan Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun