Kelas menengah core di Indonesia. Situasi krisis yang saat ini sedang saya dan mungkin teman-teman pembaca alami sebagai kelas menengah tentu tidak boleh salah langkah untuk melakukan sesuatu kedepannya. Menuju pertengahan tahun 2025, dari semua sumber-sumber relevan yang saya ringkas, seperti valid jika dibilang cukup pesimis bagi mayoritas kelas menengah untuk mobilisasi ke kelas atas, bisa bertahan di posisi sekarang saja sudah sangat bersyukur tentunya.Â
Pada tahun 2025, setidaknya saya akui, situasi di Indonesia tentu menghadapi kenyataan pahit, kelas menengah yang selama ini dianggap sebagai pilar ekonomi negara, kini semakin tergerus. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah pada 2024 mencapai 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13% dari total populasi Indonesia. Â Angka ini menurun signifikan dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa atau 21,45% dari total populasi. Fenomena ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada kelas menengah. Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025, serta pengurangan subsidi energi, menjadi beban tambahan bagi masyarakat kelas menengah yang sudah tertekan. Sementara itu, sektor informal semakin mendominasi pasar kerja Indonesia. Pada Februari 2025, proporsi pekerja informal mencapai 59,40% dari total penduduk yang bekerja, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan formal semakin terbatas, sementara sektor informal yang minim perlindungan hukum dan sosial semakin meluas. Di sisi lain, industri kreatif yang berkembang pesat saat ini menuntut keterampilan khusus yang tidak dimiliki oleh sebagian besar tenaga kerja. Â Keterampilan seperti content creator, data analyst, dan pemahaman terhadap teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) menjadi syarat utama untuk bertahan di pasar kerja. Â Bagi mereka yang tidak memiliki keterampilan tersebut, peluang untuk bersaing semakin tipis. Selain persaingan ketat di industri kreatif, permasalahan besar lain yang dihadapi kelas menengah di Indonesia adalah kompleksitas lapangan pekerjaan dan pengangguran yang tinggi. Banyak lulusan perguruan tinggi dan pekerja terampil justru kesulitan menemukan pekerjaan formal yang sesuai dengan kompetensi mereka karena pasar kerja yang tidak berkembang seimbang dengan jumlah pencari kerja. Kondisi ini diperparah oleh ketidaksesuaian kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri, serta fenomena pekerja informal yang semakin menguat sebagai solusi darurat. Akibatnya, pengangguran terselubung dan underemployment menjadi masalah struktural yang membuat mobilitas sosial kelas menengah terhambat, bahkan memicu ketidakstabilan ekonomi dan sosial yang lebih luas.
Akibat dari terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan meningkatnya sektor informal, ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin melebar. Â Menurut data BPS, meskipun angka kemiskinan menurun, rasio gini yang mengukur ketimpangan pendapatan justru meningkat dari 0,379 pada Maret 2024 menjadi 0,381 pada September 2024. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah orang miskin menurun, kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin semakin lebar. Selain itu, fenomena "turun kelas" semakin nyata. Banyak individu yang sebelumnya tergolong kelas menengah kini terperosok ke dalam kategori rentan miskin akibat kehilangan pekerjaan atau menurunnya daya beli. Â
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga psikologis dan sosial. Tekanan ekonomi yang terus meningkat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi di kalangan masyarakat kelas menengah. Fenomena "Duck Syndrome", situasi ketika seseorang berusaha tampil tenang di luar meskipun berjuang keras di dalam, banyak ditemui di kalangan kelas menengah. Selain itu, ketidakpastian ekonomi menyebabkan berkurangnya rasa percaya diri dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Hal ini berpotensi memicu peningkatan angka bunuh diri, terutama di kalangan generasi muda yang merasa terjebak dalam situasi tanpa harapan. Kita sebagai generasi dengan embel-embel generasi emas tentu dihadapkan pada tantangan besar. Teknologi yang berkembang pesat menuntut mereka untuk memiliki keterampilan digital yang mumpuni. Namun, akses terhadap pendidikan dan pelatihan yang berkualitas masih terbatas, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga dengan pendapatan rendah. Untuk itu, penting bagi gen Z untuk proaktif dalam mengembangkan keterampilan diri. Saya benar benar menyarankan untuk mengikuti kursus online, bergabung dengan komunitas profesional, dan terus belajar menjadi langkah-langkah strategis untuk bertahan dan berkembang di tengah ketidakpastian ekonomi.Â
Seharusnya, pemerintah memiliki peran penting dalam mengatasi penurunan kelas menengah. Mereka seharusnya memberikan kebijakan yang berpihak pada peningkatan daya beli masyarakat, penciptaan lapangan pekerjaan formal, dan pengurangan ketimpangan ekonomi harus menjadi prioritas. Selain itu, investasi dalam pendidikan dan pelatihan keterampilan juga sangat diperlukan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang kompetitif di era digital. Namun, kebijakan yang ada saat ini seringkali tidak cukup untuk mengatasi masalah secara menyeluruh. Kenaikan pajak dan pengurangan subsidi justru menambah beban bagi kelas menengah. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada masyarakat. Melihat kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kelas menengah di Indonesia saat ini lebih merupakan mitos daripada kenyataan. Faktor-faktor seperti kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, terbatasnya lapangan pekerjaan formal, dan meningkatnya ketimpangan ekonomi menyebabkan kelas menengah semakin tergerus. Untuk itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari realitas ini dan mengambil langkah-langkah strategis untuk bertahan dan berkembang. Selain itu, pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat kelas menengah agar mereka dapat kembali menjadi pilar utama perekonomian Indonesia.Â
Kelas menengah yang semakin tergerus merupakan cerminan dari ketimpangan struktural dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu, diperlukan kesadaran kolektif dan aksi nyata dari semua pihak untuk mengatasi masalah ini. Hanya dengan demikian, kelas menengah dapat kembali menjadi pilar utama perekonomian Indonesia dan mewujudkan cita-cita negara yang adil dan makmur. Namun, bagi saya sendiri, saya tidak ingin munafik, di tengah situasi yang penuh tantangan ini, menjadi egois dalam bagi saya memang mau tidak mau diperlukan. Bahasa halusnya, kita lebih baik fokus pada pengembangan diri, peningkatan keterampilan, dan pencapaian tujuan pribadi harus menjadi prioritas. Dengan demikian, meskipun kondisi eksternal tidak mendukung, individu dapat tetap bertahan dan berkembang. Selain itu, penting untuk membangun jaringan sosial yang kuat, baik secara online maupun offline, untuk saling mendukung dan berbagi informasi. Kolaborasi dan solidaritas antar individu dan komunitas dapat menjadi kekuatan untuk menghadapi tantangan bersama. Meskipun konotasi negatifnya adalah mencari orang dalam. Jujur, realita yang kita hadapi memang seperti ini. Gugur bersama idealisme atau bangkit meskipun harus memakai cara yang belum tentu benar.
Cara lain untuk bertahan di situasi ini, dalam bahasa akademisnya adalah mengadopsi pragmatisme kritis, yaitu mempertahankan nilai-nilai dan prinsip sebagai kompas moral sekaligus bersikap realistis dan fleksibel dalam mengambil langkah demi bertahan dan berkembang. Dengan cara ini, seseorang dapat memilih prioritas yang penting tanpa mengorbankan integritas fundamental, terus belajar dan beradaptasi agar solusi yang diambil semakin beretika dan efektif, serta membangun solidaritas dengan sesama untuk menghadapi tantangan bersama tanpa harus terjerumus pada kompromi yang merusak diri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI