Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Analisis Sosiologi Perilaku Menyimpang, Media Sosial Menciptakan Komunitas Tabu (Grup Facebook Fantasi Sedarah)

18 Mei 2025   00:22 Diperbarui: 18 Mei 2025   00:22 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Postingan di grup tersebut (Sumber: https://x.com/hashtag/Inses?src=hashtag_click)

Selain itu, anomie menjelaskan mengapa fenomena seperti ini sulit diberantas hanya dengan pendekatan hukum atau moral saja. Karena akar permasalahannya adalah ketidakseimbangan struktural yang lebih dalam, ketika masyarakat gagal memberikan kesempatan yang adil dan dukungan psikososial yang memadai, penyimpangan menjadi bentuk adaptasi yang bisa dimengerti secara sosiologis. Analisis teori anomie ini juga menyoroti perlunya pemahaman yang lebih luas dan intervensi yang tidak hanya represif, tetapi juga preventif dan rehabilitatif, agar penyimpangan semacam ini tidak terus berulang dan meluas.

Kerapuhan Kontrol Sosial

Dalam perspektif teori kontrol sosial, khususnya seperti yang dikemukakan oleh Travis Hirschi, perilaku menyimpang bukan muncul karena orang “berbeda”, melainkan karena lemahnya ikatan sosial seseorang terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, grup Fantasi Sedarah bukan semata-mata kumpulan individu yang menyimpang secara alamiah, tetapi individu yang mengalami keterputusan dari norma sosial yang dominan. Hirschi menjelaskan bahwa terdapat empat elemen utama pengikat individu pada tatanan sosial, attachment (keterikatan dengan orang lain), commitment (komitmen terhadap tujuan sosial), involvement (keterlibatan dalam aktivitas konvensional), dan belief (kepercayaan terhadap nilai-nilai normatif). Jika keempat elemen ini melemah, maka individu lebih rentan terlibat dalam penyimpangan. Dalam grup tersebut, banyak anggotanya justru merasa memiliki tempat yang “aman” untuk mengekspresikan keinginan seksual menyimpang tanpa takut akan stigma atau hukuman sosial. Hal ini menunjukkan adanya pelepasan dari kontrol eksternal (dari masyarakat) dan internal (dari moral pribadi). Keterlibatan dalam komunitas tertutup ini menciptakan efek bahwa nilai-nilai menyimpang tidak hanya diterima, tetapi dibenarkan dan diperkuat. Melemahnya keterlibatan dalam norma konvensional seperti keluarga yang sehat, pendidikan etis, atau aktivitas produktif, membuat ruang untuk penyimpangan semakin lebar. Mereka menciptakan sistem “kepercayaan” alternatif yang melegitimasi hasrat inkestual sebagai bentuk kebebasan berekspresi seksual.

Teori kontrol sosial menekankan pentingnya pengawasan dari lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama, pendidikan, dan hukum. Dalam kasus ini, tampak jelas kegagalan atau disfungsi lembaga-lembaga tersebut dalam mencegah atau mendeteksi gejala penyimpangan. Ada kemungkinan bahwa sebagian dari anggota grup mengalami trauma, pengabaian keluarga, atau kekosongan moral yang tidak sempat ditangani. Ketika pengawasan melemah, maka perilaku menyimpang bisa menjadi alternatif identitas atau bahkan menjadi sumber solidaritas baru, sebagaimana yang terjadi dalam kelompok ini. Lemahnya kontrol sosial digital pun berkontribusi pada berkembangnya grup tersebut. Meskipun media sosial memiliki regulasi komunitas, nyatanya algoritma dan sistem pelaporan seringkali tidak cukup kuat untuk mendeteksi atau menindaklanjuti kelompok-kelompok tertutup seperti ini. Dalam kondisi seperti ini, anggota grup seperti memiliki ruang “liar” untuk terus menyebarkan narasi menyimpang dengan dalih kebebasan berekspresi. Maka teori kontrol sosial memberi kita lensa yang tajam untuk memahami bahwa penyimpangan bukan semata soal niat jahat individu, tetapi juga hasil dari runtuhnya pagar-pagar pengendali yang seharusnya menahan mereka tetap dalam jalur sosial yang sah.

Pembentukan Sub Kultur Menyimpang

Pendekatan subkultur menyimpang (deviant subculture) menjelaskan bahwa perilaku menyimpang tidak selalu muncul karena penyimpangan individual yang terisolasi, melainkan sebagai hasil dari keterlibatan dalam kelompok sosial dengan sistem nilai, norma, dan simbol alternatif yang bertentangan dengan norma dominan. Teori ini berkembang dari kajian sosiolog Inggris seperti Albert Cohen, Cloward & Ohlin, hingga teori Chicago School yang menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam membentuk perilaku. Dalam kasus grup Facebook Fantasi Sedarah, kita melihat bagaimana terbentuknya sebuah komunitas yang menciptakan ruang budaya tersendiri yang menyimpang dari nilai moral dan hukum umum, namun memiliki logika internal yang kohesif. Anggota grup ini tidak hanya berbagi ketertarikan terhadap fantasi seksual incest, tetapi juga membentuk sistem bahasa, candaan, dan bahkan norma internal yang mereka gunakan untuk melegitimasi perilaku menyimpang mereka. Di dalamnya, istilah “fantasi” berfungsi sebagai bentuk eufemisme yang mengaburkan bobot moral perbuatan yang sedang dibahas. Mereka saling memberikan validasi, merespon dengan komentar-komentar yang menguatkan, dan bahkan mendukung produksi konten yang memperkuat imajinasi kolektif kelompok. Di titik ini, kita melihat bagaimana nilai yang seharusnya dianggap tabu justru mendapatkan ruang sosial untuk tumbuh dan berakar sebagai “budaya tandingan”. 

Pembentukan subkultur ini terjadi karena anggota-anggota kelompok merasa termarginalkan atau tidak diterima dalam masyarakat yang lebih luas. Maka, kelompok tersebut menjadi tempat pelarian psikososial, tempat mereka bisa “diterima” dan mendapatkan rasa memiliki. Menurut Cohen, subkultur menyimpang sering kali tumbuh dari pengalaman frustrasi status, yakni saat seseorang tidak bisa memenuhi ekspektasi sosial dominan (misalnya standar moral, agama, atau norma seksual). Untuk meresponsnya, mereka menciptakan sistem nilai baru yang “membalikkan” nilai-nilai lama. Dalam konteks ini, nilai moral seperti kesucian keluarga justru diparodikan dan dibalik menjadi objek fantasi. Intinya, subkultur ini tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga dapat menjadi arena sosialisasi menyimpang. Anggota baru yang bergabung ke dalam grup akan belajar norma dan praktik yang berlaku di sana melalui postingan, komentar, dan bahkan permainan peran naratif yang ditulis secara publik. Proses ini sangat mirip dengan bagaimana budaya populer diserap, hanya saja dalam bentuk penyimpangan. Maka, teori subkultur menyimpang membantu kita memahami bahwa fenomena grup Fantasi Sedarah bukan sekadar kasus moral individu, tetapi ekspresi dari budaya alternatif yang tumbuh di pinggiran norma, menyatu dalam solidaritas menyimpang, dan berkembang di ruang-ruang yang tidak tersentuh regulasi sosial dominan.

Rasionalisasi dan Kekosongan Etika dalam Penyimpangan Modern

Teori Max Weber memberikan sudut pandang yang berbeda namun sangat relevan dalam memahami fenomena menyimpang seperti grup Facebook Fantasi Sedarah. Weber tidak secara eksplisit menulis tentang perilaku menyimpang seperti halnya Durkheim atau para teoritikus penyimpangan lainnya, namun konsep-konsep kunci seperti rasionalisasi, otonomi individu dalam modernitas, serta krisis etika akibat dominasi instrumentalitas sangat berguna dalam membedah mengapa perilaku ekstrem bisa tumbuh dalam masyarakat modern.

Weber menjelaskan bahwa modernitas membawa proses rasionalisasi yang kuat yakni ketika masyarakat semakin diorganisasi oleh prinsip-prinsip efisiensi, kalkulasi, dan teknis, menggantikan nilai-nilai tradisional dan moral. Dalam masyarakat yang rasional dan terfragmentasi ini, individu tidak lagi terikat secara kuat pada etika religius atau norma komunitarian yang dulu membentuk batas-batas perilaku. Maka, ruang seperti grup Fantasi Sedarah bisa tumbuh karena dunia modern membuka peluang untuk kebebasan individu, namun tanpa bingkai etik yang jelas. Rasionalitas instrumental bisa diterapkan bahkan dalam perilaku menyimpang “selama ini hanya fantasi”, “tidak nyata”, atau “sekadar komunitas fiksi” menjadi bentuk pembenaran logis atas tindakan yang secara sosial dianggap menyimpang. Selain itu, Weber melihat bahwa kekuasaan modern tidak lagi berbasis pada nilai-nilai karismatik atau tradisional, tapi pada rasional-legal, termasuk otoritas negara dan hukum. Ketika otoritas legal ini gagal menjangkau atau mendeteksi aktivitas menyimpang di ruang privat (terutama di dunia digital yang terenkripsi dan tertutup), maka kekosongan otoritas muncul. Grup seperti Fantasi Sedarah menjadi contoh dari apa yang Weber sebut sebagai "kandang besi" rasionalisasi, di mana sistem formal (media sosial, algoritma, kebijakan privasi) justru melindungi praktik yang secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kebebasan berekspresi dimaknai sebebas-bebasnya, tetapi tanpa otonomi etis atau pertimbangan moral. Weber juga menekankan bahwa modernitas membawa disenchantment of the world (penghilangan sakralitas dunia). Hubungan kekeluargaan, yang dulu dianggap sakral dan bermuatan religius atau budaya, kini bisa direduksi menjadi objek hasrat atau “tema fantasi” karena tidak lagi memiliki kekuatan simbolik yang mengikat. Maka, ketika keluarga tidak lagi dilihat sebagai institusi moral, tapi sebagai narasi dalam “roleplay seksual”, kita sedang menyaksikan efek akhir dari hilangnya nilai simbolik akibat rasionalisasi dan fragmentasi sosial. Dengan demikian, pendekatan Weber memberi kita pemahaman bahwa penyimpangan modern seperti dalam Fantasi Sedarah tidak hanya hasil dari abnormalitas individu, melainkan produk dari struktur masyarakat rasional-modern itu sendiri yang menyediakan ruang, teknologi, dan bahkan bahasa pembenaran bagi setiap bentuk perilaku, termasuk yang paling menyimpang sekalipun.

Pembaca bisa menggunakan masing-masing teori sesuai kebutuhan analisis, jika fenomena ini sebagai studi kasus sosiologi perilaku menyimpang. Berikut detail nya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun