Pertengahan Mei 2025 kita dikejutkan lagi dengan vitalnya suatu grup komunitas tertutup yang menyimpang di media sosial. Publik dikejutkan oleh terbongkarnya sebuah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah, sebuah komunitas daring dengan lebih dari 41.000 anggota yang secara terbuka mendiskusikan dan membagikan konten bertema inses, termasuk yang mengarah pada fantasi seksual terhadap anggota keluarga mereka sendiri dan anak di bawah umur. Grup ini, yang aktif setidaknya sejak pertengahan Mei 2025, menyajikan konten postingan anggotanya yang vulgar dan mencerminkan penyimpangan seksual ekstrem yang selama ini dianggap tabu dan ilegal dalam norma hukum maupun moral masyarakat. Keberadaan grup ini bukan hanya sekadar bukti kegagalan moderasi platform digital, tetapi juga memperlihatkan bagaimana perilaku menyimpang tidak lagi sekadar terpinggirkan, melainkan dapat mencari ruang, berorganisasi, bahkan membentuk komunitas alternatif di ruang daring.
Bagi yang memperdalami kajaian sosiologi, hal ini menegaskan bahwa penyimpangan bukan hanya masalah personal, melainkan fenomena sosial yang kompleks, terstruktur, dan penuh dinamika kekuasaan. Satu konsep yang tepat untuk menganalisis fenomena ini adalah sosiologi perilaku menyimpang, teori dan konsep sosiologi yang telah lama mempelajari bagaimana perilaku-perilaku yang bertentangan dengan norma sosial muncul, dipertahankan, dan dikonstruksi. Teori-teori klasik seperti Durkheim memandang penyimpangan sebagai bagian fungsional dari masyarakat, sementara Howard Becker melalui labeling theory menekankan bagaimana individu menjadi “penyimpang” setelah diberi label oleh masyarakat. Lebih jauh, teori subkultur menunjukkan bahwa kelompok-kelompok penyimpang seringkali membentuk sistem nilai tersendiri yang bertentangan dengan norma dominan. Saya menulis artikel ini untuk mencoba membedah grup Fantasi Sedarah menggunakan teori sosiologi perilaku menyimpang. Jika ada teman-teman yang ingin ambil skripsi dengan kerangka teoritis dengan tema studi kasus ini, tulisan ini akan membantu untuk menjawab pertanyaan penting bagaimana mungkin penyimpangan ekstrem seperti ini bukan hanya muncul, tetapi juga mendapat dukungan kolektif. Mengapa ruang digital justru memfasilitasi tumbuhnya komunitas yang menantang moral publik secara terang-terangan. Dan apa yang sebenarnya dikatakan fenomena ini tentang kondisi sosial kita hari ini. Saya akan mencoba memaparkan teori-teori sosiologi perilaku menyimpang yang bisa menganalisis fenomena ini.
Potensi Media Sosial dalam Membentuk Penyimpanan Kolektif
Semua media sosial baik Facebook, TikTok, Instagram, X, hingga Telegram membuka peluang terbentuknya komunitas-komunitas tertutup yang menyimpang dari nilai arus utama. Grup Facebook Fantasi Sedarah ini menjadi contoh nyata bagaimana media sosial berperan sebagai ekosistem bagi penyimpangan yang bersifat kolektif. Meskipun bersifat tertutup dan tidak bisa diakses sembarang orang, eksistensi grup ini justru menunjukkan bahwa penyimpangan kini bukan lagi individual dan tersembunyi, melainkan berjejaring dan membentuk subkultur tersendiri. Keberadaan grup ini menunjukkan bahwa para pelaku penyimpangan tidak selalu merasa terisolasi. Sebaliknya, mereka menemukan komunitas yang menyambut, memvalidasi, bahkan merayakan penyimpangan tersebut.
Meskipun begitu, sifat tertutup grup ini tidak menjadikannya aman dari sorotan publik. Justru karena sifat eksklusifnya, grup ini menciptakan semacam “ruang aman” bagi penyimpang untuk berbicara lebih eksplisit tanpa takut dikoreksi oleh norma umum. Namun, kerahasiaan digital tidaklah mutlak. Penyebaran konten dari dalam grup ke ranah publik menandakan adanya anggota internal yang membocorkan informasi. Ini membuka wacana penting tentang bagaimana penyimpangan yang semula tersembunyi bisa menjadi viral. Dalam banyak kasus, kebocoran tersebut muncul bukan karena penyesalan, tetapi sebagai bentuk “balas dendam moral”, sensasi, atau pencarian eksistensi oleh anggota itu sendiri.
Fenomena “Fantasi Sedarah” memperlihatkan wajah baru dari penyimpangan kolektif, tidak lagi hanya terjadi di gang-gang sempit atau ruang privat, tetapi justru bermigrasi ke ruang digital yang luas, cair, dan paradoksal. Di satu sisi ruang ini bersifat inklusif dan bebas, namun di sisi lain juga penuh pengawasan dan rawan bocor. Dengan demikian, media sosial menjadi medan kontestasi antara kebebasan berekspresi dan batas moral masyarakat, antara komunitas penyimpang yang mencari ruang, dan masyarakat umum yang mempertahankan norma.
Disfungsi dan Kegagalan Sosialiasi yang Diterima para Anggota Grup Fantasi Sedarah
Dalam memahami penyimpangan sosial, teori fungsionalisme Émile Durkheim, menganggapnya sebagai elemen normal yang memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat, karena dianggap memperkuat norma sosial melalui reaksi terhadap pelanggaran. Penyimpangan berfungsi sebagai sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam struktur sosial yang harus diperbaiki. Kasus grup Facebook Fantasi Sedarah dapat dipahami sebagai refleksi dari ketidakseimbangan atau disfungsi norma sosial yang berlaku di masyarakat luas. Ketika norma-norma yang ada gagal mengakomodasi kebutuhan dan ekspresi tertentu misalnya, kebutuhan untuk menyalurkan fantasi atau identitas alternatif individu atau kelompok akan mencari ruang lain untuk mewujudkan diri mereka, meski ruang tersebut dianggap menyimpang oleh mayoritas. Disfungsi ini bisa muncul akibat lemahnya kontrol sosial formal dan informal, di mana institusi sosial seperti keluarga, pendidikan, dan agama tidak lagi efektif dalam menanamkan nilai-nilai atau norma yang diharapkan. Dalam kasus Fantasi Sedarah, keberadaan kelompok tertutup ini menunjukkan bahwa norma-norma sosial utama mungkin tidak mampu mengakomodasi identitas atau fantasi yang lebih ekstrem dan berbeda dari standar umum masyarakat. Kondisi ini membuat individu merasa alienasi dan akhirnya beralih ke kelompok yang menyediakan tempat bagi mereka untuk merasa diterima, sekaligus menguatkan perilaku atau ide yang dianggap menyimpang.
Bagi Durkheim, penyimpangan juga bisa memiliki fungsi positif, yakni sebagai pendorong perubahan sosial. Dalam konteks Fantasi Sedarah, keberadaan kelompok ini meski kontroversial dan problematik, menandakan bahwa ada kebutuhan sosial yang tidak terjawab dan menuntut perhatian dari masyarakat dan pembuat kebijakan. Dengan kata lain, fenomena ini bukan hanya masalah moral atau kriminal, tetapi juga cermin dari dinamika sosial yang kompleks, di mana norma dan nilai perlu dikaji ulang agar lebih inklusif dan relevan dengan kondisi masyarakat yang terus berubah. Dalam kerangka Durkheim, kita tahu bahwa norma sosial berfungsi menjaga kohesi dan stabilitas masyarakat. Ketika norma-norma tersebut melemah atau mengalami kerusakan, terjadi apa yang disebutnya sebagai anomie, kondisi dimana aturan sosial menjadi kabur atau tidak efektif sehingga individu kehilangan pegangan moral. Munculnya grup Fantasi Sedarah bisa dilihat sebagai ruang di mana norma sosial utama yang melarang incestus dan tabu seksual lainnya menjadi terdegradasi, sehingga para anggota kelompok ini merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri mereka. Anomie ini mendorong anggota untuk mencari makna dan identitas baru di dalam komunitas mereka sendiri, meski hal itu sangat bertentangan dengan norma mayoritas.
Disfungsi sosial ini juga bisa dijelaskan dalam konteks kegagalan lembaga-lembaga sosial utama seperti keluarga, agama, dan pendidikan dalam melakukan kontrol sosial yang efektif. Dengan melemahnya kontrol dari lembaga-lembaga tersebut, misalnya, keluarga yang gagal menjadi agen sosialisasi nilai moral yang kuat, atau pendidikan yang kurang memberikan pemahaman etis, individu cenderung mencari pengakuan dan afiliasi di luar norma yang diterima. Grup tertutup seperti Fantasi Sedarah menjadi tempat berlindung sekaligus laboratorium sosial di mana norma baru dibangun dan distandarisasi secara internal. Kesimpulannya, melalui lensa struktural fungsional Durkheim, kasus grup Fantasi Sedarah merupakan cerminan nyata dari disfungsi sosial yang timbul akibat melemahnya norma dan kontrol sosial yang efektif. Kondisi anomie yang tercipta tidak hanya memicu perilaku menyimpang secara individual, tapi juga mendorong terbentuknya kelompok-kelompok yang mendefinisikan ulang batasan moral mereka sendiri dalam konteks komunitas tertutup, yang sangat berbahaya jika dibiarkan berkembang tanpa pengawasan sosial yang memadai.
Belajar Menyimpang dari Komunitas yang Menyimpang
Edwin H. Sutherland dalam teori Differential Association menegaskan bahwa perilaku menyimpang bukanlah bawaan lahir atau semata-mata hasil kegagalan moral individu, melainkan sesuatu yang dipelajari melalui interaksi sosial dengan kelompok atau komunitas yang memiliki norma berbeda dari masyarakat umum. Dalam konteks Fantasi Sedarah, anggota grup ini tidak hanya menemukan ruang untuk mengekspresikan hasrat yang dianggap tabu secara sosial, tetapi juga belajar, menguatkan, dan menormalisasi perilaku menyimpang tersebut melalui komunikasi dan interaksi intens di dalam komunitas. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang akan mengadopsi perilaku menyimpang jika dalam proses sosialisasi mereka lebih sering terpapar pada norma dan nilai yang membenarkan perilaku tersebut daripada norma yang melarangnya. Di grup Facebook tertutup seperti Fantasi Sedarah, anggota secara konsisten menerima pesan-pesan yang menguatkan fantasi dan hasrat seksual yang tidak lazim, yang dalam masyarakat umum jelas-jelas dilarang dan distigmatisasi. Proses pembelajaran ini menciptakan lingkungan sosial yang mendukung dan memperkuat penyimpangan tersebut, membuat anggota semakin terikat dan sulit keluar dari lingkaran itu. Interaksi dalam komunitas tertutup ini memungkinkan anggota untuk membangun identitas kolektif sebagai kelompok yang ‘berbeda’ dan bahkan merasa ‘disalahpahami’ oleh masyarakat luas. Mereka menemukan solidaritas dan rasa aman dalam kelompok, yang membuat perilaku menyimpang menjadi sumber pengakuan dan afiliasi sosial, bukan sekadar tindakan terlarang. Keberadaan grup tertutup juga menghindarkan mereka dari pengawasan sosial eksternal, memperkecil risiko sanksi dan memudahkan proses internalisasi norma baru yang menyimpang.
Dalam analisis Sutherland, fenomena ini menunjukkan bagaimana penyimpangan bukan hanya perbuatan individu yang menyimpang sendiri, melainkan hasil dari proses sosial yang sangat kompleks. Grup seperti Fantasi Sedarah berperan sebagai “komunitas” penyimpangan yang mengajarkan dan menguatkan perilaku serta nilai yang bertentangan dengan norma masyarakat luas. Karena itu, pengaruh komunitas sangat kuat dalam mempertahankan dan mereproduksi penyimpangan tersebut. Pada intinya, teori Differential Association menekankan pentingnya konteks sosial dan jaringan interpersonal dalam memahami penyimpangan. Kasus Fantasi Sedarah memperlihatkan bagaimana lingkungan sosial yang kondusif bagi penyimpangan melalui komunikasi intens dan norma kelompok yang terinternalisasi mendorong individu untuk mengadopsi dan mempertahankan perilaku yang menyimpang, bahkan dalam skala yang ekstrem sekalipun.
Konsekuensi yang akan Diterima dari Labeling Masyarakat
Teori Labeling atau Penandaan dikembangkan oleh sosiolog seperti Howard Becker dan Edwin Lemert, yang menyoroti bagaimana proses sosial memberi label pada individu atau kelompok sebagai “penyimpang” dapat memengaruhi identitas dan perilaku mereka secara signifikan. Dalam kasus grup Facebook Fantasi Sedarah, anggota yang terlibat dalam aktivitas dan diskusi yang sangat tabu dan menyimpang tersebut secara sosial telah mendapatkan stigma yang kuat dari masyarakat luas. Label sebagai “penyimpang seksual” atau bahkan “pelanggar norma moral” bukan hanya melekat dari luar, tapi dapat menjadi bagian dari identitas diri mereka sendiri. Teori ini lebih cocok untuk menganalisis konsekuensi apabila ada seseorang yang ketahuan pernah tergabung dengan anggota grup Fantasi Sedarah ini.
Menurut teori ini, penyimpangan bukan hanya sekadar tindakan yang salah atau melanggar norma, melainkan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial melalui proses penandaan. Individu yang awalnya mungkin melakukan perilaku tertentu tanpa makna khusus, setelah diberi label sebagai penyimpang oleh masyarakat atau otoritas, akan mulai menginternalisasi label tersebut dan bahkan dapat memperkuat perilaku menyimpang sebagai bentuk perlawanan terhadap stigma. Dalam konteks Fantasi Sedarah, label negatif yang ditempelkan pada mereka bisa membuat anggota semakin menjauh dari norma sosial umum dan semakin aktif dalam kelompok yang memberi rasa diterima. Proses ini disebut secondary deviance oleh Lemert, yaitu ketika perilaku menyimpang awal (primary deviance) diperkuat oleh respon sosial berupa pelabelan. Label ini sering membawa konsekuensi sosial berupa isolasi, diskriminasi, dan marginalisasi. Anggota grup tertutup seperti Fantasi Sedarah mungkin mengalami tekanan sosial dari lingkungan luar yang menolak mereka, sehingga mereka mencari pengakuan dan rasa aman dalam kelompok yang menerima mereka tanpa syarat. Dengan demikian, kelompok tersebut menjadi tempat penguatan identitas sebagai penyimpang. Selain itu, teori labeling juga menyoroti peran institusi sosial media, hukum, agama dalam proses pelabelan ini. Media yang mengangkat kasus seperti Fantasi Sedarah biasanya memberikan framing yang sangat negatif, memperkuat stigma masyarakat. Sedangkan tindakan hukum yang mungkin menindak anggota yang terlibat dapat memperdalam marginalisasi. Namun, dalam beberapa kasus, pelabelan ini justru mendorong solidaritas internal dan memperkuat kohesi kelompok penyimpang.
Analisis teori labeling pada kasus ini mengungkapkan paradoks penting, pelabelan sebagai “penyimpang” berpotensi membuat individu makin terjerumus dalam penyimpangan, bukan sebaliknya. Hal ini menjelaskan mengapa meskipun ada tekanan sosial dan hukum, grup seperti Fantasi Sedarah masih bertahan dan bahkan berkembang. Label negatif dari luar justru membentuk identitas yang melekat dan menjadi sumber kekuatan kelompok. Dampak terburuknya, seseorang yang dilabeli sebagai anggota grup ini, mereka akan berperilaku menyimpang seperti yang dilabelkan pada dirinya.
Anomie, Kegagalan dan Pelarian Akibat Kekangan Norma
Robert K. Merton mengembangkan konsep anomie dari Durkheim dengan fokus pada ketegangan yang terjadi ketika norma sosial dan tujuan budaya tidak selaras dengan cara-cara yang tersedia bagi individu untuk mencapainya. Dalam teorinya, anomie adalah kondisi ketidaksesuaian antara harapan budaya, misalnya, sukses, pengakuan sosial, atau kebahagiaan dengan kesempatan nyata yang dimiliki individu dalam masyarakat untuk meraihnya melalui cara-cara yang sah. Kasus grup Fantasi Sedarah dapat dianalisis melalui konsep anomie Merton, karena anggota kelompok ini secara sosial terpinggirkan dan teralienasi dari norma dan nilai dominan masyarakat. Ketika struktur sosial gagal menyediakan jalur yang wajar dan legal bagi individu untuk memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis mereka, beberapa individu mungkin mencari alternatif di luar norma, termasuk dalam bentuk perilaku menyimpang yang ekstrem seperti yang ditemukan di grup tersebut.
Merton mengklasifikasikan lima mode adaptasi terhadap anomie konformitas, inovasi, ritualisme, retretisme, dan pemberontakan.
- Konformitas (Conformity), ketika individu menerima tujuan sosial dan cara-cara legal untuk mencapainya, menjadi bentuk perilaku mayoritas.
- Inovasi (Innovation), ketika seseorang tetap menerima tujuannya (seperti kesuksesan) tetapi menggunakan cara-cara yang tidak sah atau ilegal, seperti korupsi atau kriminalitas
- Ritualisme (Ritualism), ketika individu menyerah pada tujuan tetapi tetap mengikuti aturan secara mekanis, seperti pegawai birokrasi yang bekerja tanpa harapan naik pangkat
- Retretisme (Retreatism), yakni penolakan baik terhadap tujuan maupun cara-cara konvensional, umumnya terlihat dalam kelompok yang menarik diri dari masyarakat seperti pecandu, tunawisma, atau dalam konteks ini, komunitas fantasi menyimpang
- Pemberontakan (Rebellion), ketika individu menolak baik tujuan maupun cara yang berlaku, lalu menciptakan sistem nilai baru sebagai bentuk perlawanan, seperti yang terjadi dalam komunitas menyimpang yang membentuk “realitas alternatif” untuk membenarkan perilaku mereka sendiri.
Anggota grup Fantasi Sedarah cenderung masuk ke dalam kategori retretisme dan pemberontakan. Retretisme adalah penarikan diri dari norma dan tujuan budaya, sementara pemberontakan adalah penolakan sekaligus penggantian norma dengan sistem nilai alternatif. Dalam konteks ini, mereka menolak nilai-nilai moral sosial umum dan membentuk sistem nilai sendiri dalam kelompok tertutup yang menerima hasrat dan fantasi mereka. Ketegangan sosial ini diperparah oleh marginalisasi, stigma, dan keterbatasan akses ke jaringan sosial yang sehat. Tekanan dan isolasi ini membuat individu makin sulit berintegrasi dengan norma mayoritas, sehingga mereka mencari tempat aman dalam komunitas yang menyediakan dukungan emosional dan pengakuan, meskipun dengan norma yang menyimpang. Grup tertutup seperti Fantasi Sedarah menjadi semacam mekanisme koping bagi anggota yang merasa gagal memenuhi standar sosial umum.
Selain itu, anomie menjelaskan mengapa fenomena seperti ini sulit diberantas hanya dengan pendekatan hukum atau moral saja. Karena akar permasalahannya adalah ketidakseimbangan struktural yang lebih dalam, ketika masyarakat gagal memberikan kesempatan yang adil dan dukungan psikososial yang memadai, penyimpangan menjadi bentuk adaptasi yang bisa dimengerti secara sosiologis. Analisis teori anomie ini juga menyoroti perlunya pemahaman yang lebih luas dan intervensi yang tidak hanya represif, tetapi juga preventif dan rehabilitatif, agar penyimpangan semacam ini tidak terus berulang dan meluas.
Kerapuhan Kontrol Sosial
Dalam perspektif teori kontrol sosial, khususnya seperti yang dikemukakan oleh Travis Hirschi, perilaku menyimpang bukan muncul karena orang “berbeda”, melainkan karena lemahnya ikatan sosial seseorang terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, grup Fantasi Sedarah bukan semata-mata kumpulan individu yang menyimpang secara alamiah, tetapi individu yang mengalami keterputusan dari norma sosial yang dominan. Hirschi menjelaskan bahwa terdapat empat elemen utama pengikat individu pada tatanan sosial, attachment (keterikatan dengan orang lain), commitment (komitmen terhadap tujuan sosial), involvement (keterlibatan dalam aktivitas konvensional), dan belief (kepercayaan terhadap nilai-nilai normatif). Jika keempat elemen ini melemah, maka individu lebih rentan terlibat dalam penyimpangan. Dalam grup tersebut, banyak anggotanya justru merasa memiliki tempat yang “aman” untuk mengekspresikan keinginan seksual menyimpang tanpa takut akan stigma atau hukuman sosial. Hal ini menunjukkan adanya pelepasan dari kontrol eksternal (dari masyarakat) dan internal (dari moral pribadi). Keterlibatan dalam komunitas tertutup ini menciptakan efek bahwa nilai-nilai menyimpang tidak hanya diterima, tetapi dibenarkan dan diperkuat. Melemahnya keterlibatan dalam norma konvensional seperti keluarga yang sehat, pendidikan etis, atau aktivitas produktif, membuat ruang untuk penyimpangan semakin lebar. Mereka menciptakan sistem “kepercayaan” alternatif yang melegitimasi hasrat inkestual sebagai bentuk kebebasan berekspresi seksual.
Teori kontrol sosial menekankan pentingnya pengawasan dari lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama, pendidikan, dan hukum. Dalam kasus ini, tampak jelas kegagalan atau disfungsi lembaga-lembaga tersebut dalam mencegah atau mendeteksi gejala penyimpangan. Ada kemungkinan bahwa sebagian dari anggota grup mengalami trauma, pengabaian keluarga, atau kekosongan moral yang tidak sempat ditangani. Ketika pengawasan melemah, maka perilaku menyimpang bisa menjadi alternatif identitas atau bahkan menjadi sumber solidaritas baru, sebagaimana yang terjadi dalam kelompok ini. Lemahnya kontrol sosial digital pun berkontribusi pada berkembangnya grup tersebut. Meskipun media sosial memiliki regulasi komunitas, nyatanya algoritma dan sistem pelaporan seringkali tidak cukup kuat untuk mendeteksi atau menindaklanjuti kelompok-kelompok tertutup seperti ini. Dalam kondisi seperti ini, anggota grup seperti memiliki ruang “liar” untuk terus menyebarkan narasi menyimpang dengan dalih kebebasan berekspresi. Maka teori kontrol sosial memberi kita lensa yang tajam untuk memahami bahwa penyimpangan bukan semata soal niat jahat individu, tetapi juga hasil dari runtuhnya pagar-pagar pengendali yang seharusnya menahan mereka tetap dalam jalur sosial yang sah.
Pembentukan Sub Kultur Menyimpang
Pendekatan subkultur menyimpang (deviant subculture) menjelaskan bahwa perilaku menyimpang tidak selalu muncul karena penyimpangan individual yang terisolasi, melainkan sebagai hasil dari keterlibatan dalam kelompok sosial dengan sistem nilai, norma, dan simbol alternatif yang bertentangan dengan norma dominan. Teori ini berkembang dari kajian sosiolog Inggris seperti Albert Cohen, Cloward & Ohlin, hingga teori Chicago School yang menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam membentuk perilaku. Dalam kasus grup Facebook Fantasi Sedarah, kita melihat bagaimana terbentuknya sebuah komunitas yang menciptakan ruang budaya tersendiri yang menyimpang dari nilai moral dan hukum umum, namun memiliki logika internal yang kohesif. Anggota grup ini tidak hanya berbagi ketertarikan terhadap fantasi seksual incest, tetapi juga membentuk sistem bahasa, candaan, dan bahkan norma internal yang mereka gunakan untuk melegitimasi perilaku menyimpang mereka. Di dalamnya, istilah “fantasi” berfungsi sebagai bentuk eufemisme yang mengaburkan bobot moral perbuatan yang sedang dibahas. Mereka saling memberikan validasi, merespon dengan komentar-komentar yang menguatkan, dan bahkan mendukung produksi konten yang memperkuat imajinasi kolektif kelompok. Di titik ini, kita melihat bagaimana nilai yang seharusnya dianggap tabu justru mendapatkan ruang sosial untuk tumbuh dan berakar sebagai “budaya tandingan”.
Pembentukan subkultur ini terjadi karena anggota-anggota kelompok merasa termarginalkan atau tidak diterima dalam masyarakat yang lebih luas. Maka, kelompok tersebut menjadi tempat pelarian psikososial, tempat mereka bisa “diterima” dan mendapatkan rasa memiliki. Menurut Cohen, subkultur menyimpang sering kali tumbuh dari pengalaman frustrasi status, yakni saat seseorang tidak bisa memenuhi ekspektasi sosial dominan (misalnya standar moral, agama, atau norma seksual). Untuk meresponsnya, mereka menciptakan sistem nilai baru yang “membalikkan” nilai-nilai lama. Dalam konteks ini, nilai moral seperti kesucian keluarga justru diparodikan dan dibalik menjadi objek fantasi. Intinya, subkultur ini tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga dapat menjadi arena sosialisasi menyimpang. Anggota baru yang bergabung ke dalam grup akan belajar norma dan praktik yang berlaku di sana melalui postingan, komentar, dan bahkan permainan peran naratif yang ditulis secara publik. Proses ini sangat mirip dengan bagaimana budaya populer diserap, hanya saja dalam bentuk penyimpangan. Maka, teori subkultur menyimpang membantu kita memahami bahwa fenomena grup Fantasi Sedarah bukan sekadar kasus moral individu, tetapi ekspresi dari budaya alternatif yang tumbuh di pinggiran norma, menyatu dalam solidaritas menyimpang, dan berkembang di ruang-ruang yang tidak tersentuh regulasi sosial dominan.
Rasionalisasi dan Kekosongan Etika dalam Penyimpangan Modern
Teori Max Weber memberikan sudut pandang yang berbeda namun sangat relevan dalam memahami fenomena menyimpang seperti grup Facebook Fantasi Sedarah. Weber tidak secara eksplisit menulis tentang perilaku menyimpang seperti halnya Durkheim atau para teoritikus penyimpangan lainnya, namun konsep-konsep kunci seperti rasionalisasi, otonomi individu dalam modernitas, serta krisis etika akibat dominasi instrumentalitas sangat berguna dalam membedah mengapa perilaku ekstrem bisa tumbuh dalam masyarakat modern.
Weber menjelaskan bahwa modernitas membawa proses rasionalisasi yang kuat yakni ketika masyarakat semakin diorganisasi oleh prinsip-prinsip efisiensi, kalkulasi, dan teknis, menggantikan nilai-nilai tradisional dan moral. Dalam masyarakat yang rasional dan terfragmentasi ini, individu tidak lagi terikat secara kuat pada etika religius atau norma komunitarian yang dulu membentuk batas-batas perilaku. Maka, ruang seperti grup Fantasi Sedarah bisa tumbuh karena dunia modern membuka peluang untuk kebebasan individu, namun tanpa bingkai etik yang jelas. Rasionalitas instrumental bisa diterapkan bahkan dalam perilaku menyimpang “selama ini hanya fantasi”, “tidak nyata”, atau “sekadar komunitas fiksi” menjadi bentuk pembenaran logis atas tindakan yang secara sosial dianggap menyimpang. Selain itu, Weber melihat bahwa kekuasaan modern tidak lagi berbasis pada nilai-nilai karismatik atau tradisional, tapi pada rasional-legal, termasuk otoritas negara dan hukum. Ketika otoritas legal ini gagal menjangkau atau mendeteksi aktivitas menyimpang di ruang privat (terutama di dunia digital yang terenkripsi dan tertutup), maka kekosongan otoritas muncul. Grup seperti Fantasi Sedarah menjadi contoh dari apa yang Weber sebut sebagai "kandang besi" rasionalisasi, di mana sistem formal (media sosial, algoritma, kebijakan privasi) justru melindungi praktik yang secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kebebasan berekspresi dimaknai sebebas-bebasnya, tetapi tanpa otonomi etis atau pertimbangan moral. Weber juga menekankan bahwa modernitas membawa disenchantment of the world (penghilangan sakralitas dunia). Hubungan kekeluargaan, yang dulu dianggap sakral dan bermuatan religius atau budaya, kini bisa direduksi menjadi objek hasrat atau “tema fantasi” karena tidak lagi memiliki kekuatan simbolik yang mengikat. Maka, ketika keluarga tidak lagi dilihat sebagai institusi moral, tapi sebagai narasi dalam “roleplay seksual”, kita sedang menyaksikan efek akhir dari hilangnya nilai simbolik akibat rasionalisasi dan fragmentasi sosial. Dengan demikian, pendekatan Weber memberi kita pemahaman bahwa penyimpangan modern seperti dalam Fantasi Sedarah tidak hanya hasil dari abnormalitas individu, melainkan produk dari struktur masyarakat rasional-modern itu sendiri yang menyediakan ruang, teknologi, dan bahkan bahasa pembenaran bagi setiap bentuk perilaku, termasuk yang paling menyimpang sekalipun.
Pembaca bisa menggunakan masing-masing teori sesuai kebutuhan analisis, jika fenomena ini sebagai studi kasus sosiologi perilaku menyimpang. Berikut detail nya,
Jika teman teman ingin menjelaskan bagaimana proses penyimpangannya terbentuk bagi pelaku, gunakan teori:
1. Teori Differential Association, Edwin H. Sutherland
- Intinya, penyimpangan adalah hasil dari proses belajar melalui interaksi sosial.
- Gunakan untuk menjelaskan bagaimana anggota grup menyerap nilai-nilai menyimpang dari sesama anggota komunitas tertutup, hingga menjadikannya normal.
- Cocok untuk menganalisis dinamika internal grup Fantasi Sedarah, proses komunikasi antar anggota, dan penyebaran nilai penyimpangan.
2. Teori Subkebudayaan Menyimpang
- Intinya kelompok menyimpang menciptakan nilai dan norma sendiri yang bertentangan dengan budaya dominan.
- Gunakan untuk menjelaskan kenapa grup ini membentuk komunitas tertutup dengan “norma alternatif” yang mengafirmasi penyimpangan.
- Cocok untuk menganalisis struktur nilai dalam grup, simbol, bahasa khusus, dan budaya internal mereka.
Jika teman teman ingin memahami latar belakang, motivasi atau dorongan terciptanya penyimpangan tersebut, gunakan teori:
1. Disfungsi Struktur Sosial, Emile Durkheim
- Intinya, penyimpangan bisa menunjukkan kegagalan lembaga sosial dan nilai kolektif.
- Gunakan untuk menjelaskan bagaimana fenomena ini menjadi “alarm sosial” atas disfungsi nilai keluarga, norma moral, dan kontrol sosial digital.
- Cocok untuk menganalisis fungsi kritik dan refleksi sosial dari fenomena penyimpangan ekstrem.
2. Anomie, Robert K. Merton
- Intinya, ketidaksesuaian antara nilai sosial dan realitas individual melahirkan kekosongan norma (anomie).
- Gunakan untuk menjelaskan bagaimana krisis moralitas atau kegagalan sistem nilai mendorong individu mencari pelampiasan pada perilaku ekstrem.
- Gunakan juga untuk menjelaskan kenapa pelaku memilih jalur fantasi ekstrem sebagai bentuk pelarian atau “kreativitas menyimpang”.
- Cocok untuk menganalisis kenapa masyarakat kehilangan makna sakral keluarga hingga menyimpang secara seksual.
- Cocok juga untuk menganalisis bentuk pelarian melalui fantasi seksual dan kenapa itu dianggap “memuaskan”.
3. Teori Weber tentang Rasionalisasi dan Disenchantment
- Intinya, dunia modern kehilangan nilai sakral, semua hal dirasionalisasi tanpa etika.
- Gunakan untuk menjelaskan mengapa orang merasa bebas mengekspresikan fantasi ekstrem karena tidak ada nilai religius atau moral yang membatasi lagi.
- Cocok untuk menganalisis dekonstruksi nilai keluarga dan absennya batas etis dalam dunia digital rasional.
Jika teman teman ingin memahami bagaimana rekasi dan tindakan masyarakat serta konsekuensi pada pelaku penyimpangan, gunakan teori:
1. Teori Labeling, Howard Becker
- Intinya, penyimpangan terjadi ketika individu diberi label menyimpang oleh masyarakat.
- Gunakan untuk menjelaskan efek sosial dari pelabelan terhadap anggota grup, termasuk mengapa mereka justru menguatkan identitas menyimpangnya.
- Cocok untuk menganalisis reaksi publik, stigma, dan dampak pelabelan terhadap perilaku anggota.
2. Teori Kontrol Sosial, Travis Hirschi
- Intinya, penyimpangan terjadi ketika ikatan sosial melemah (keluarga, sekolah, hukum).
- Gunakan untuk menjelaskan kenapa individu di grup ini tak terikat lagi oleh norma umum karena lemahnya kontrol sosial eksternal.
- Cocok untuk menganalisis absennya peran lembaga keluarga, hukum, dan sosial dalam mencegah penyimpangan.
Jadi, Fenomena grup Facebook Fantasi Sedarah bukan sekadar penyimpangan individu yang terisolasi ia adalah gejala sosial yang muncul dari retaknya struktur norma, pudarnya otoritas sosial, dan berkembangnya ruang-ruang digital yang memberi tempat bagi kelainan menjadi perlawanan. Melalui lensa teori-teori sosiologi penyimpangan, kita menyadari bahwa perilaku ganjil ini bukan muncul dari kehampaan, melainkan dari serangkaian proses sosial, tekanan struktural, pelabelan, hingga pembentukan subkultur alternatif yang menantang tatanan.
Sebagai penutup, dunia pasca-modern, dengan segala kebebasan digitalnya, menghadirkan ruang ambigu tempat penyimpangan bisa tumbuh subur. Ketika masyarakat gagal memberi makna dan arah, ketika institusi melemah dan kepercayaan runtuh, maka perilaku menyimpang menjadi saluran entah untuk pelarian, pemberontakan, atau eksistensi. Dan kelompok seperti Fantasi Sedarah adalah tanda bahwa batas-batas “normal” tidak lagi dihormati, bahkan dieksploitasi demi sensasi atau pengakuan. Inilah realitas sosial kita hari ini ketika penyimpangan tak lagi hanya menyimpang, melainkan terorganisasi, terkomunikasikan, dan kadang, diterima. Di titik ini, sosiologi tak hanya memberi penjelasan, tapi juga peringatan, jika kita tak menguatkan kontrol sosial, pendidikan nilai, dan ruang dialog publik, maka penyimpangan bisa menjadi pola, bukan pengecualian.
Rujukan utama:
Hisyam, Ciek Julyati. Perilaku Menyimpang: Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Bumi Aksara
https://www.sosiologi79.com/2018/06/max-weber-rasionalisasi-di-dalam.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI